Cari Blog Ini

Selasa, 28 Juni 2011

Biografi Benyamin Bura

Laksma TNI (Purn) Benyamin Bura

Nama : Laksma TNI (Purn) Benyamin Bura
Lahir          : Makale, Tana Toraja, 18 September 1942
Isteri   : Yuli Parantean

Jabatan :
Anggota DPD RI dari Sulsel/Sulbar

Pendidikan :
- Sekolah Rakyat, Makale 1949-1955
- SMP Kristen, Makale,1955-1958
- SMA Neg. Rantepao, 1958-1961
- Akademi Angkatan laut, Surabaya, 1961-1965
- Universitas Terbuka, Jakarta, 1994 -1995
- Institut Bisnis Manajemen Jakarta, 1997

Pendidikan Jenjang:
- Pendidikan Lanjutan Perwira, Surabaya, 1968
- Pendidikan Lanjutan Perwira II, Surabaya, 1975
- Kursus Komandan Kapal Perang, Surabaya, 1972
- Fleet Training Group, US Navy, USA, 1974
- Seskoal 1982

Karier:
- Pembina Taruna AAL, 1965-1966
- Perwira Kapal Perang KRI Nuku, 1996-1967
- Perwira Kapal Perang KRI Yos Sudarso, 1967-1972
- Komandan KRI Cakalang, 1973
- Direktur Sekolah Artileri AL, 1976-1978
- Komandan KRI Multatuli, 1982
- Komandan Satgas Buru Ranjau, 1987-1989
- Komandan Satuan Kapal Ranjau Armada RI, 1990
- Direktur Pendidikan Akademi TNI AL, 1992
- Inspektur Armada Timur, 1993
- Inspektur Pembinaan Sumber Daya, Inspektorat Jenderal TNI AL /Anggota Dewan Penyantun Universitas Hang Tuah,Surabaya, 1995-1997

Penghargaan:
1. Satya Lencana Penegak, 1980
2. Satya Lencana Widya Sista, 1983
3. Satya Lencana 24 Tahun, 1990
4. Bintang Yalasena Nararia, 1995

Alamat Kantor:
Gedung DPD/MPR RI
Jln. Gatot Subroto no. 6 Senayan, Jakarta
Telp. 021-57897245; 57697232.

Pengabdian Tiada Akhir

Benyamin Bura, Anggota DPD RI dari Provinsi Sulsel/Sulbar.  Pria kelahiran Makale, Tana Toraja, 18 September 1942, ini tak mengenal akhir dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Mantan Inspektur Pembinaan Sumber Daya, Inspektorat Jenderal TNI A, berpangkat terakhir Laksamana Pertama (Laksma TNI) ini telah mengabdi dari kapal perang hingga gedung DPD Senayan.

Postur fisiknya cukup ideal dan mencerminkan sosok prajurit sejati. Tinggi semampai (172 meter), atletis, padat dan tampak bersih dari timbunan lemak. Tatapan matanya tajam dan selalu fokus pada lawan bicaranya. Nada bicaranya tegas dan lugas. Kalimat-kalimatnya runtut, tapi sangat terukur serta “to the point”. Benyamin Bura anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Prov. Sulsel/Prov. Sulawesi Barat ini memang bukanlah tipe yang humoris. Dalam urusan senyuman pun dia termasuk irit. Disiplin dan kultur militer tampaknya telah membentuk karakternya menjadi pribadi yang serius, berwibawa, dan percaya diri.

Perjuangan keras memang tak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup Benyamin Bura, pria kelahiran Makale, Tana Toraja, Prov. Sulsel, 18 September 1942 ini. Bahkan di usianya yang kini 64 tahun dan sudah lama pensiun dari dinas militer (AL), beban ekonomisnya diakuinya masih cukup berat. Ya, anaknya yang paling bungsu masih bergelut untuk menyelesaikan studi di Negeri Belanda, dan ini tentu saja masih membutuhkan kiriman dolar yang tidak sedikit. Tapi dengan keyakinan teguh kepada Yang Mahakuasa, sesuai dengan nilai-nilai Kristiani yang diyakini, lelaki ini tetap tegar menjalani hidup.

“Selalu ada jalan keluar dari setiap masalah,” ujarnya tanpa ragu.

Masa kecilnya memang diwarnai pergulatan hidup yang keras. Sebagai anak pendeta/rokhaniawan dan dengan latar belakang ekonomis yang kurang menguntungkan, Benyamin dipaksa untuk selalu bergegas. Tidak ada ruang dan kesempatan untuk hidup santai, berleha-leha apalagi berhura-hura seperti kebanyakan anak-anak keluarga ekonomi mapan. Semasih anak-anak, membantu orang tua di sawah atau mengembalakan kerbau dan itik menjadi rutinitas kesehariannya di samping urusan sekolah, belajar atau membantu orang tuanya di rumah.

Ia benar-benar asli Anak Toraja. Dilahirkan, besar dan hingga menamatkan SMP di Makale lalu SMA di Rantepao, ibukota kabupaten yang termasuk salah satu andalan wisata Kawasan Timur Indonesia itu.

Tapi, tuntutan masadepan mengharuskannya keluar dari Tana Toraja. Apalagi kalau bukan karena urusan pendidikan. Perguruan tinggi waktu itu cuma ada di Makasar. Selepas SMA, ia pun mendaftar ke Universitas Hasanuddin, Jurusan Teknik Perkapalan. Namun secara bersamaan, ia juga menjajal kemampuan untuk menembus Akademi Angkatan Laut, lembaga pendidikan yang waktu itu masih sangat prestisius di kalangan anak muda.

Akademi Angkatan Laut
Benyamin sempat rada bingung menentukan arah masadepannya. Ia diterima di Unhas. Dasar otaknya cukup encer dan ditunjang oleh jasmani dan rokhani yang sehat, ia juga lulus seleksi ke AAL. Akhirnya, setelah melalui pertimbangan matang, ia pun meninggalkan kegiatan perpeloncoan yang tengah dijalani di Fak Teknik Unhas dan memantapkan pilihannya ke AAL.

Ia mengaku bahwa pilihan ke AAL sangat dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi keluarga. Belum lagi daya tarik dan rasa bangga untuk menjadi taruna AAL. Selain bebas biaya pendidikan, karier dan masadepan pun sudah membayang di depan mata. Sementara kuliah di Unhas, selain butuh jangka waktu lebih lama, biaya yang harus dikeluarkan juga cukup besar. Dengan kondisi ekonomi keluarganya waktu itu, Benyamin bahkan tidak yakin bisa menjadi insinyiur perkapalan seperti yang pernah melintas dalam benaknya.

Jangan-jangan dalam beberapa semester, ia sudah harus drop-out karena tak mampu lagi membayar uang kuliah.
“Saya tidak bisa memperkirakan bakal jadi apa kalau saya terus bertahan di Unhas,” ujarnya mencoba mengingat peristiwa di tahun 60-an itu.

Masuk AAL tahun 1961, tahun 1965 ia dilantik menjadi perwira muda dengan pangkat letnan dua. Sederet jabatan dan posisi pun sudah dilakoninya, tapi sebagian besar di kapal perang. Diawali sebagai pembina taruna AAL (ia masuk kelompok lulusan terbaik di angkatannya), berikutnya adalah perwira di sejumlah kapal perang antaralain KRI Yos Sudarso, Komandan Kapal Perang antaralain KRI Multatuli, Direktur Sekolah Artileri, hingga Direktur Pendidikan Akademi AL dan diakhiri dengan penugasan sebagai Inspektur Pembinaan (Irbin) di Mabes AL.

“Masa dinas aktif saya selama 20 tahun saya habiskan di laut pada berbagai jabatan sampai dengan komandan kapal perang, “ katanya mengenang.

Namun pengalaman yang paling berkesan baginya adalah saat bertugas sebagai komandan KRI Multaltuli. Kapal ini merupakan “kapal komando” bagi seluruh kapal di jajaran Angkatan Laut yang bergabung dalam Eskader Nusantara. Sebagai kapal markas, posisinya pun sangat dinamis karena harus menjelajahi seluruh kawan Nusantara, Timur maupun Barat.

Serangkaian pendidikan yang pernah diikuti selama berdinas di AL antaralain Pendidikan Lanjutan Perwira (1968), Pendidikan Lanjutan Perwira II (1975), Kursus Komandan Kapal Perang (1972), dan Fleet Training Group (1974) sampai dengan Sesko TNI AL.

Suami Yuli Parantean ini juga sarat dengan sejumlah penugasan antaralain menjadi Pembina Taruna AAL (1965-1966), Perwira di Kapal Perang NKRI Yos Sudarso (1967-1972), Komandan Kapal Perang KRI Multatuli (1973), Direktur Sekolah Artileri (1976-1978) dan Direktur Pendidikan Akademi AL, Irbin di Mabes TNI AL (1995-1997). Antara tahun 1987 - 1989 saat berpangkat Letkol Benyamin mendapat tugas khusus ke Negeri Belanda. Yakni mengawasi pembuatan KRI Pulau Rengat dan KRI Pulau Rupat.

Kedua kapal pemburu ranjau ini merupakan pesanan AL untuk memperkuat armada RI. Salah satu stafnya ketika di Negeri Belanda yakni Freddy Numberi yang kini menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.

Benyamin Bura pensiun dari dinas militer tahun 1998 dengan jabatan terakhir sebagai Inspektur Pembinaan TNI – AL. Ia sangat bersyukur karena telah menjalani dinas selama 32 tahun tanpa cacat, sejak dilantik menjadi perwira muda tahun 1966. Kebanggaannya sebagai perajurit semakin lengkap karena dari angkatannya yang berjumlah 180 orang itu, ia tercatat sebagai salah satu dari 23 yang berhasil masuk ke jajaran “bintang” atau kelompok perwira tinggi. Dengan pangkat terakhir Laksamana Pertama (Laksma TNI), ia berhak mengikuti upacara kehormatan pelepasan perwira di Surabaya (AAL). Momen seperti ini menjadi dambaaan sekaligus kehormatan tersendiri bagi setiap perwira, ujarnya.

Haus Ilmu
Pensiun dari dinas militer bukan berarti masapengabdian sudah selesai. Bagi Benyamin, ini justru semacam pintu gerbang untuk memasuki dunia baru. Sekedar perpindahan ladang pengabdian dari dunia militer ke dunia sipil. Lagipula jauh-jauh hari, ia telah mempersiapkan diri dengan kuliah di Universitas Terbuka. Tahun 1995 ia berhasil merampungkan kuliah S-1-nya dan berhak menyandang gelar sarjana ilmu politik.

Meraih gelar sarjana politik ternyata belum belum menyurutkan semangatnya untuk menimba ilmu. Tahun 1987, Benyamin mengambil program Magister Manajemen di Institut Bisnis Manajemen Jakarta. Kuliahnya sebenarnya sudah selesai tahun 1998 namun ia baru bisa divisuda tahun 2002. Soalnya, selain kuliah, waktu itu dia juga disibukkan berbagai kegiatan antaralain sebagai komisaris di PT Admiral Lines. Tapi ia tetap bersyukur karena akhirnya bisa merampungkan studinya yang kedua ini. Kini, selain pangkat kemiliteran, ia juga berhak menyandang dua gelar kesarjanaan yang merupakan simbol prestise masyarakat sipil.

Benyamin mengakui bahwa selain dalam rangka berkiprah di dunia sipil, dengan kesungguhan belajarnya ini ia sekaligus menanamkan kepada anak-anaknya bahwa tidak ada istilah berhenti untuk belajar (Learn is never ending). Bukan dengan dengan cara teriak-teriak, tapi dengan memberikan contoh konkrit, ujarnya.

Untuk urusan pendidikan, sampai titik darah penghabisan pun harus ditempuh, begitu prinsipnya tentang pentingnya pendidikan dalam rangka pembentukan generasi penerus yang berkualitas.

Ternyata, prinsip tersebut diamini oleh ketiga anak-anaknya. Anak pertamanya, perempuan, Jory Firdaus Bura sempat memasuki perguruan tinggi walau hanya sampai tingkat akademi. Anak keduanya, Romie Oktavianus Bura telah meraih gelar doktor (S-3) aeronetika dari Southampton University, Inggeris dan kini mengajar di ITB. Sementara si bungsu, Erik Elisar Bura tengah menyelesaikan program S-2-nya di Erasmus Universiteit, Negeri Belanda, yang alumninya antaralain Radius Prawiro dan Kwik Kian Gie itu.

Benyamin memiliki pengalaman mengharukan di seputar pendidikan anaknya ini. Ketika itu, Agustus 1997, kedua anaknya sudah berada di Inggeris dan Negeri Belanda. Keduanya tengah mempersiapkan diri untuk memilih tempat studi. Namun tahun 1998, krisis tiba-tiba saja menerjang perekonomian Indonesia dengan salah satu dampaknya yakni merosotnya nilai Rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar AS dan Foundsterling. Anaknya yang di Inggeris, sudah pasrah dan bersiap untuk kembali ke tanah air. Ia sadar bahwa orang tuanya yang hanya pensiunan TNI (Benyamin pensiun terhitung 18 September 1997) tidak bakal mampu menyiapkan 4000 poundsterling (sekitar Rp 100 juta) untuk kebutuhan kuliah tahun pertama.

Benyamin Bura pun sangat terpukul. Tapi ia bersama keluarga tidak lantas putus asa danmenyerah. Mereka pun memanjatkan doa kepada Tuhan. Setelah berdoa, ia lalu menelpon anaknya. dan mengatakan sangat memahami kegalauan anaknya itu. Namun sebelum pulang ke Tanah Air, atas rekomendasi Fanny Habibie (waktu itu menjabat sebagai Dubes RI), anaknya disarankan menghadap salah satu direktur di British Aerospace, Inggeris.

Akhirnya, berkat bantuan Fanny Habibie, anak Benyamin berhasil mendapatkan bea siswa dari British Aerospace (semacam NASA-nya AS). Dasar anaknya berotak encer. Bukan hanya program S-1, anak keduanya ini bahkan mendapat kesempatan meneruskan studi ke jenjang S-3. Akhirnya, anak keduanya berhasil meraih gelar doktor atas dukungan penuh dari British Aerospace dan kini telah bekerja sebagai dosen di ITB.

Jadi kalau kita memohon kepada-Nya, Tuhan pasti membukakan jalan, ujar Benyamin bersaksi. “Krisis moneter waktu itu, justru jadi semacam blessing in disguise bagi saya. Benar-benar invisible hands”, ujarnya mantap.
Pengembangan Teluk Bone

Ketika ditanya, mengapa memilih DPD, bukan anggota Parpol lalu menjadi anggota DPR, ia berterus terang bahwa posisi DPD sangat sesuai dengan panggilan jiwanya. Soalnya DPD itu non-partisan, non-partai, dan non-golongan. Ia merasa DPD lebih “nyambung” dengan wawasan kebangsaan dan semangat nasionalisme yang telah terpatri dalam jiwanya, sebagai hasil penggemblengan selama berdinas di AL.

Tapi dalam meraih kursi DPD tersebut ia mengaku harus melalui prosesyang cukup dramatis. Saat perhitungan suara, dari 43 calon anggota DPD Sulsel yang ikut bertarung waktu itu, ia persis berada di urutan keempat. Dengan demikian, ia lolos ke Senayan (untuk DPD, tiap propinsi hanya mendapat jatah 4 kursi). Padahal, ia mengakui kemampuannya serba terbatas, khususnya dalam urusan dana (political cost).

Sementara sudah menjadi rahasia umum bahwa pentas politik termasuk kegiatan yang “haus duit”. Siapapun yang terjun ke bidang ini harus siap menguras kantong, sementara hasil akhir entah itu jabatan bupati, walikota, gubernur, anggota DPR atau Anggota DPD, masih di awang-awang.

Tapi Benyamin, dengan segala keterbatasan yang ada padanya, tapi dengan strategi yang jitu, akhirnya bisa meraih satu kursi DPD. Ia pun mensyukuri ini sebagai berkat dari Tuhan.

Tentang dunia barunya sebagai anggota DPD, Benyamin mengaku tidak begitu sulit beradaftasi. Soalnya, sewaktu di dinas kemiliteran pun, mereka telah dibekali dengan sejumlah kemampuan. Dengan demikian, mereka tidak canggung lagi untuk menjadi pemimpin (leader), manajer/administrator atau sebagai pembina. Belum lagi lmu politik dan ilmu manajemen yang diperoleh dari perkuliahan, sangat mendukung pelaksanaan tugasnya sebagai anggota DPD.

Kunci sukses dalam hidup adalah kesiapan dan kesempatan, ujar Benyamin. Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan formal maupun nonformal merupakan bagian dari upaya peningkatan kesiapan itu, katanya.

Tentang DPD itu sendiri, ayah tiga anak ini mengakui bahwa wewenang lembaga ini dalam melaksanakan fungsi legislasinya relatif terbatas. Karena apapun yang dihasilkan, baik rancangan UU, pertimbangan, masukan, dsb tetap bermuara ke DPR. Artinya, produk-produk dari DPD tidak bersifat final dan mengikat.

Namun demikian, Benyamin Bura melihat masih banyak yang bisa dilakukan oleh anggota DPD. Antaralain dengan aktif mendorong dan menyuarakan percepatan pembangunan daerah. Meningkatnya anggaran DAU dari 25 menjadi 26 persen dari penerimanaan negara mulai RAPBN 2007 nanti merupakan contoh konkrit hasil perjuangan DPD, katanya.

Sebagai wakil dari Provinsi Sulsel/Prov. Sulawesi Barat), Benyamin memiliki komitmen kuat untuk membantu percepatan pembangunan daerah ini. Salah satu gagasannya yang cukup gencar dipromosikan yakni pengembangan kawasan Teluk Bone menjadi kawasan maritim yang bernilai strategis-ekonomis, lestari dan berkelanjutan. Menurutnya, kawasan yang mencakup wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan melibatkan tak kurang dari 12 kabupaten itu harus ditangani secara terpadu. Soalnya, penduduk kawasan teluk sempit ini relatif padat, khususnya di sepanjang pesisir pantai.

Kalau penduduk tidak dibina, maka mereka akan memenuhi kebutuhan hidup dengan cara merusak lingkungan. Misalnya dengan melakukan pembalakan liar di areal hutan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan konservasi atau gudang penyimpanan air. Atau jika nelayan, mereka mencari ikan dengan cara pengeboman yang sangat merusak lingkungan hidup atau membabat hutan bakau di pesisir pantai.

Kapal ikan yang beroperasi di kawasan Teluk Bone harus dibatasi. Kapal bertonase di atas 30 gross ton harus dilarang masuk, sehingga tidak mematikan nelayan kecil. Pemda, LSM, badan usaha besar seperti PT aneka Tambang dan PT Inco harus bersinerji untuk mewujudkan kawasan tersebut menjadi daerah yang makmur dan berkembang, tapi tetap mengedepankan kelestarian lingkungan strategisnya, katanya.

Guna mewujudkan obsesinya itu, Benyamin aktif mempromosikan idenya ini kepada berbagai instansi dan pejabat terkait termasuk kepada para investor. Mendagri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menristek, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal sampai Menteri Olah Raga sudah diyakinkan akan pentingnya keterpaduan pembangunan dan pengembangan kawasan Teluk Bone.

Sumber : tokoh-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...