Cari Blog Ini

Selasa, 28 Juni 2011

Biografi Budi Harsono

LETJEN TNI (PURN.) H. BUDI HARSONO

Nama : LETJEN TNI (PURN.) H. BUDI HARSONO
Lahir  : Yogyakarta, 13 September 1946
Agama : Islam
Istri    : Mut Indayah (Menikah 1972)
Anak :

1. Budi Indawan, ST., MM.
2. Sus Budi Indardi, ST., MM.
3. Budi Inda Timor Putra.
4. Budi Inda Catur Satya.
Ayah : Aris Moenandar
Ibu : Salamah

Jabatan Sekarang:
- Anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR-RI (Periode 2004-2009) dari Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Barat VIII (Kabupaten Subang, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Sumedang).
- Anggota Komisi VII DPR-RI (Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral) DPR-RI.
- Anggota Badan Kehormatan (BK) DPR-RI.
- Anggota Tim Sosialisasi Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR RI).

Riwayat Pendidikan:
- SR (Yogyakarta, 1952-1958)
- SMP (Yogyakarta, 1958-1961)
- SMA/B (Manado, 1961-1964)
- Akademi Militer Nasional (Magelang, 1964-1967)
- Suslapa (Bandung, 1975-1976).
- Seskoad (Bandung, 1983-1984).
- Lemhannas KRA XXI (Jakarta, 1993-1994).

Pangkat Militer Terakhir:
Letnan Jenderal TNI

Jenjang Karier di Militer:
1. 1968-1976: (Letnan Dua-Kapten) Kodam IV/Diponegoro, Jawa Tengah:
-Komandan Peleton (Danton) Batalyon Infanteri (Yonif) 406, Gombong, Jawa Tengah (1968-Letnan Dua).
-Komandan Kompi (Danki) Yonif 406, Gombong, Jawa Tengah (1972, Letnan Satu-Kapten).
-Perwira Staf Operasi Yonif 406 (1976-Kapten).

2. 1976-1983: (Mayor-Letnan Kolonel) Kodam II Bukit Barisan, Sumatera Utara:
- Perwira Paban Madya/Karo Operasi Kodam II BB (1976-1981-Mayor).
-Wakil Komandan Yonif 122 Tebing Tinggi (1981-Mayor).
-Kepala Staf Komando Distrik Militer (Kasdim) 0206 Rantau Prapat, Labuan Batu, (1981-1982, Mayor).
-Kasdim 0201 Kota Besar Medan, Sumut (1982-1983, Letnan Kolonel).

3. 1984-1989: (Letnan Kolonel-Kolonel) Kodam III Siliwangi, Jawa Barat:
-Komandan Yonif 312 Kala Hitam, Subang, (1984-1985, Letnan Kolonel).
-Komandan Komando Distrik Militer (Dandim) 0617, Majalengka (1986-1988, Letnan Kolonel).
-Kepala Staf Komando Resort Militer (Kasrem) 061 Bogor, (1988-1989, Letnan Kolonel).

4. 1989-1992: (Kolonel) Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad):
-Asisten Teritorial (Aster) Divisi I Kostrad, Cilodong, Jawa Barat (1989-1992, Kolonel).

5. 1992-1994: (Kolonel) Kodam III Siliwangi, Jawa Barat:
-Aster Dam III Siliwangi, (1992-1993, Kolonel).
-Komandan Komando Resort Militer (Danrem) 063 Cirebon, (1993-1994, Kolonel).

6. 1995-1997: (Kolonel-Mayor Jenderal) Mabes TNI:
-Paban Sospol Mabes TNI (1995-1996, Kolonel).
-Wakil Asisten Sospol (Waassospol) Mabes TNI (1996-Brigadir Jenderal).
-Assospol Mabes TNI (1996-1997-Mayor Jenderal).

7. 1997-2002: (Mayor Jenderal-Letnan Jenderal) Fraksi TNI/Polri DPR-RI:
-Ketua Komisi II DPR-RI (1997-1999, Mayor Jenderal).
-Wakil Ketua Fraksi TNI/Polri DPR-RI (1999-2000, Mayor Jenderal).
-Ketua Fraksi TNI/Polri DPR-RI (2001-2002, Letnan Jenderal).

Pengalaman Tugas Militer:
1. Operasi Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak (1971-1972).
2. Operasi Timor Timur I (1981-1982).
3. Operasi Timor Timur II (1984-1985).

Pengalaman Organisasi/Pekerjaan Lain:
1. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar (2002-2004).
2. Komisaris PTP XI (1997-1999).
3. Komisaris TVRI (2003-2004)

Penghargaan/Tanda Jasa:
1.Satya Lencana Penegak
2.Satya Lencana Dharma Pala
3.Satya Lencana Seroja
4. Satya Lencana Kesetiaan 8 Tahun, 16 Tahun, dan 24 Tahun
5. Bintang Kartika Eka Paksi Nararya
6. Bintang Kartika Eka Paksi Pratama
7.Bintang Yudha Dharma Nararya
8. Bintang Yudha Dharma Pratama
9. Bintang Dharma

Hobby:
1. Olah Raga (sepakbola, tenis, golf, joging)
2. Kesenian (nonton wayang kulit)

Alamat Rumah:
Perum Hankam Jati Makmur Jl. Raflesia F-3 Pondok Gede, Bekasi.

Pejuang Berjiwa Ikhlas

Politikus Partai Golkar dan anggota DPR-RI (2004-2009) ini memiliki latar belakang militer dengan pangkat Letnan Jenderal (Letjen) TNI. Kendati demikian, bila disimak dari cara bertuturnya yang lemah-lembut, perawakannya yang mungil, serta sikapnya yang rendah hati di hadapan orang lain, tidak tampak sama sekali sosok ‘keras’ seorang jenderal penyandang bintang tiga.

Tapi, Budi Harsono akan menunjukkan kalibernya sebagai seorang pejuang bangsa dan negara yang sejati manakala mengkritisi kesadaran bernegara dan bela negara, yang dinilainya sudah semakin terkikis dari jiwa warga negara Indonesia, dewasa ini.

Pria yang memiliki falsafah hidup: “Bekerja dengan Ikhlas, Tuhan akan Menjaga Rezeki” ini mengaku amat prihatin menyaksikan potret manusia Indonesia yang terlalu menghambakan diri pada mental materialistis-individualistis.
Budi yang kini ditugaskan Fraksi Partai Golkar di Komisi VII (bidang Energi dan Sumber Daya Mineral) DPR ini mengingatkan, kesadaran bernegara dan kesediaan serta kerelaan berkorban untuk negara seharusnya bukan hanya dimiliki seorang militer tapi juga dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia.

“Kita dapat amati dewasa ini kesadaran bernegara dan bela negara warga negara Indonesia sudah mengalami erosi yang sangat tajam,” tukasnya.

Dalam hematnya, faktor penyebab dari fenomena itu adanya kekurangan pada sistem pembangunan nasional di masa lalu, yang belum menempatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai prioritas utama.

Ironisnya pula, SDM dibangun seiring dengan derap pembangunan fisik-material. Akibatnya, timbullah ekses dari kegiatan pembangunan tersebut yaitu SDM yang cenderung bermental dan berperilaku materialistis. Yang hanya berfikir dan bertindak atas apa yang dia harus peroleh. Pola pikir seperti itu, sambung anggota Badan Kehormatan (BK) DPR-RI ini, dominan merasuki benak SDM Indonesia dewasa ini.

“Pembangunan SDM mestinya menjadi prioritas dan diprogram dari awal secara sistematis dan berjangka panjang, dan tidak secara instan. Jerih-payah kita sekarang hasilnya baru bisa dipetik bangsa ini 15-20 tahun mendatang,” tandas anggota Tim Sosialisasi Badan Pekerja MPR-RI ini.

Memimpin Fraksi TNI/Polri DPR
Sebenarnya, Budi Harsono terbilang sudah cukup lama berkecimpung di dunia parlementaria. Anggota Fraksi Partai Golkar (F-PG) DPR periode 2004-2009 ini pertama kali bertugas di Gedung DPR/MPR pada tahun 1997.
Ketika itu, pria kelahiran Yogyakarta, 13 September 1946, ini mendapatkan kepercayaan dari Mabes ABRI sebagai anggota Fraksi ABRI di DPR/MPR.

Dia mengemban tugas sebagai anggota legislatif di DPR berkaitan dengan peran Dwifungsi (fungsi Pertahanan Keamanan dan fungsi Sosial Politik) ABRI yang berlaku di masa itu.

Dia mendapat tugas baru di DPR setelah hampir satu tahun lamanya memangku tugas sebagai Asisten Sosial Politik (Assospol) Mabes ABRI. Saat itu, Budi berpangkat Mayor Jenderal TNI (bintang dua). Posisi Assospol ABRI yang ditinggalkannya selanjutnya ditempati oleh Mayor Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, yang kini menjabat Presiden RI.

Pertama kali bertugas di Senayan, dia langsung diserahi tanggung jawab sebagai Ketua Komisi II DPR RI, yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri. Setahun kemudian, dia dipercaya menjadi Wakil Ketua Fraksi ABRI (1997-1999). Saat itu, posisi Ketua F-ABRI dijabat oleh Letjen TNI Ahmad Rustandi, yang sekarang menjadi anggota Mahkamah Kontitusi.

Di era reformasi, seiring pergantian kepemimpinan nasional (eksekutif dan legislatif) hasil dari Pemilu 1999, Budi rupanya masih mendapat kepercayaan dari Mabes TNI bertugas di DPR.

Seperti dipahami, berdasarkan konsensus rakyat Indonesia yang dilandasi semangat reformasi, pada 1 April 1999, institusi Polri (Kepolisian RI) dipisahkan dari institusi TNI dalam organisasi ABRI, sehingga sejak itu sebutan Fraksi ABRI pun berubah menjadi Fraksi TNI/Polri.

Setelah sekitar dua tahun menjabat Wakil Ketua F-TNI/Polri, pada tahun 2001, Budi Harsono ditunjuk Mabes TNI sebagai Ketua F-TNI/Polri, menggantikan posisi Letjen TNI Ahmad Rustandi yang memasuki masa pensiun.

Selaras dengan kapasitas tugas dan tanggung jawabnya selaku Ketua F-TNI/Polri, suami dari Mut Indayah ini dan ayah empat orang putra ini memperoleh kenaikan pangkat satu tingkat dari Mayor Jenderal TNI menjadi Letnan Jenderal TNI (bintang tiga).

Saat menjadi komandan gerbong F-TNI/Polri di DPR yang terdiri dari 38 orang anggota, Budi Harsono mesti benar-benar bijaksana dalam memposisikan peran F-TNI/Polri di dalam dinamika kehidupan parlementaria, yang sarat dengan tarik-menarik kepentingan antarpartai politik (Parpol).

Bijaksana dalam pengertian menempatkan posisi TNI/Polri secara netral, nonpartisan, dan semata-mata mengabdi pada kepentingan negara dan rakyat Indonesia di tengah-tengah pertarungan politik yang cenderung bersifat partisan dan sektarian di Senayan.

Alumnus Lemhannas KRA XXI (1994-1995) ini menggarisbawahi, F-TNI/Polri bertugas mewakili dan mengusung kepentingan negara dan bangsa. Dengan kata lain, politik yang dimainkan F-TNI/Polri di parlemen adalah politik negara. Bukan politik praktis yang dimainkan fraksi-fraksi lain dan kepentingan partisan kelompok masyarakat yang diwakili dan diperjuangkan Parpol-parpol.

Di bawah kepemimpinan Budi Harsono, F-TNI/Polri mampu memerankan diri sebagai penyeimbang sekaligus jembatan penghubung di antara fraksi-fraksi di DPR yang sering berseteru atau berbeda pendapat mengenai isu-isu yang berkembang di Senayan.

Peranan penyeimbang yang dimainkan F-TNI/polri di DPR, kata Budi, berkaitan erat dengan tujuan keberadaan F-TNI/Polri yakni mengabdi pada kepentingan bangsa, negara, dan rakyat secara keseluruhan.

Sebab, apabila konflik-konflik antarkepentingan fraksi di DPR dibiarkan berlarut-larut, kondisi itu akan merugikan kepentingan rakyat.

Dan, peran jembatan yang dimainkan F-TNI/Polri dapat diterima fraksi-fraksi yang berbeda kepentingan karena selalu ada solusi terbaik, yang bersifat akomodatif terhadap semua pihak. “Dulu saat Fraksi TNI/Polri ada di DPR, keputusan akhir yang diambil DPR tentang banyak isu cenderung melalui jalan musyawarah untuk mufakat,” papar mantan Assospol ABRI (1997) ini.

“Sangat jarang keputusan paripurna DPR diambil melalui pemungutan suara atau voting, seperti yang menjadi ciri DPR di era reformasi sekarang ini.”

Merupakan sebuah tantangan berat bagi Budi Harsono untuk bijak menempatkan posisi dan sikap politis F-TNI/Polri dalam konflik tersebut. Dia mesti setiap saat melakukan konsolidasi ke dalam dan berkoordinasi secara intensif –dan melaporkan setiap perkembangan situasi yang terjadi di Senayan-- dengan Mabes TNI di Cilangkap, dalam hal ini Panglima TNI.

Ketika dia memimpin F-TNI/Polri, ada satu peristiwa besar berskala nasional dalam dunia ketatanegaraan Indonesia, dan menyangkut kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dilatarbelakangi perseteruan politik tingkat tinggi antara pemerintah (baca: Presiden RI) dan DPR/MPR (mayoritas fraksi). Dalam situasi konfliktual tersebut, F-TNI/Polri ikut berperan dalam menentukan nasib bangsa dan negara.

Puncak dari perseteruan politik tersebut adalah keputusan mayoritas fraksi di MPR untuk menggelar Sidang Istimewa (SI) MPR sebagai respons terhadap kondisi negara yang diterpa berbagai persoalan, yang potensial mengarah pada instabilitas nasional, seperti kasus Bulog dan dualisme kepemimpinan di tubuh institusi Polri.

Satu tahun menjelang berakhirnya eksistensi TNI dan Polri di DPR, sebagai implementasi dari keinginan rakyat Indonesia, Budi Harsono pensiun dari dunia militer yang telah digelutinya selama hampir 35 tahun dengan penuh pengabdian, dedikasi, dan loyalitas kepada bangsa, negara, dan institusi TNI sendiri.

Menjaga Keutuhan Partai Golkar
Agaknya, pengalaman, kinerja, dan integritas seorang Budi Harsono selama beraktivitas di parlemen, khususnya ketika menjadi Ketua F-TNI/Polri, rupanya menarik perhatian Akbar Tandjung (kala itu Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Ketua DPR-RI) .

Politikus kawakan itu lantas mengajak Budi bergabung ke partai berlambang Pohon Beringin tersebut. Tak tanggung-tanggung, Akbar menawarkan posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Golkar kepada Budi Harsono.
Kebetulan, posisi Sekjen Partai Golkar memang sedang lowong setelah ditinggal Mayjen TNI (purn) Tuswandi yang wafat. Tawaran Akbar disambutnya.

Salah satu pertimbangan utama lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) angkatan 1967 ini bergabung ke Partai Golkar adalah keinginannya menyumbangkan pikiran, tenaga, dan darma baktinya kepada bangsa dan negara melalui partai politik (Parpol) terbesar di Indonesia itu.

Dalam persepsi Budi, dari demikian banyak Parpol yang ada di tanah air, utamanya Partai Golkar yang bisa menjadi perekat, penjaga, dan pengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan platform nasionalismenya.

“Spirit kebangsaan yang tertanam dalam diri saya sejak pendidikan pembentukan militer sampai bertugas di lapangan membela negara selaras dengan visi dan misi Golkar. Faktor historis dan ideologis itulah yang menjadi energi utama saya bergabung ke Partai Golkar,” Budi menjelaskan sebagian latar belakang dari keputusannya.

Kondisi Partai Golkar saat itu yang sedang dilanda konflik internal yang mengarah pada perpecahan dan sangat potensial menghancurkan Partai Golkar sendiri juga memantik motivasi Budi Harsono untuk menerima tawaran Akbar Tandjung demi menjaga keutuhan Parpol tersebut.

“Alasan yang paling subyektif, saya ingin membantu Pak Akbar Tandjung yang tengah didera persoalan hukum, di satu situasi, namun pada situasi lain dia digoyang dari dalam partainya sendiri.”

Bersama Akbar Tandjung dan pengurus pusat lainnya, Budi Harsono akhirnya berhasil menjaga keutuhan Partai Golkar, dan bahkan dengan gemilang menempatkan partai sebagai pemenang Pemilu 2004.

Pada Pemilu 2004, Budi Harsono diusung Partai Golkar untuk bertarung di Daerah Pemilihan Jawa Barat VIII (Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Majalengka).

Berkat kepercayaan besar dari warga tiga kabupaten itu yang ditandai perolehan suara cukup signifikan, mantan Danyon 312 Kala Hitam, Subang, (1984-1985), mantan Dandim 0617, Majalengka (1986-1988), dan mantan Danrem 063, Cirebon, (1993-1994) ini pun melenggang kembali ke Senayan, dan bergabung ke Fraksi Partai Golkar DPR.

Sumber : tokoh-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...