Cari Blog Ini

Selasa, 28 Juni 2011

Biografi Drs H Serta Ginting

Drs HN Serta Ginting

Nama : Drs HN Serta Ginting
Lahir         : Desa Munte, Tanah Karo, Sumut, 28 Maret 1947
Agama : Islam
Jabatan :
- Anggota DPR (Komisi IX)
- Anggota Panitia Anggaran DPR

Isteri  : Hj. Zainar Harahap, BSc.
Anak :

- Drs Iman Swadiri Ginting
- Irma Julita Ginting
- Indra Batara Ginting
- Sri Ayona Ginting, SE
- Akp. Ramon Zamora Ginting

Pendidikan:
- SR Tanah Karo
- SMP Negeri Tanah Karo
- SMEA Negeri Rantauprapat
- Sarjana Ekonomi (S1) Universitas Amir Hamzah Medan

Karier:
- Karyawan PTP Nusantara III Medan, 1969 - 1999
- Anggota DPRD Tkt II Kab. Labuhan Batu (1971-1987)
- Anggota DPRD Tkt I Prov. Sumatra Utara (1997-1999)
- Wakil Ketua DPRD Tkt I Prov. Sumatera Utara (1999-2004)

Anggota Partai:
Partai Golongan Karya
Daerah Pemilihan Sumatera Utara I (Medan, Tebing Tinggi, Kab. Deli Serdang, Kab, Serdang Bedagai)

Pengalaman Perjuangan:
- Ketua Periodik Komando Aksi Pemuda Pengganyangan G 30 S PKI

Pengalaman Organisasi:
- Ketua KNPI Kab. Labuhan Batu (1973-1979)
- Ketua DEPICAB SOKSI Labuhan Batu (1997-1987)
- Wakil Ketua KNPI Provinsi Sumatera Utara (1979-1982)
- Wakil Ketua DPD Golkar Labuhan Batu (1977-1987)
- Ketua KONI Kab. Labuhan Batu (1979-1984)
- Wakil Ketua DPD Partai Golkar Prov. Sumatera Utara (2002-2006)
- Ketua Pembina Pemuda Panca Marga Prov. Sumatera Utara
- Ketua DEPIDAR SOKSI Prov.Sumatera Utara (2002-2006)
- Ketua DEPINAS SOKSI (2005-sekarang)
- Ketua AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar) Prov. Sumut (2002-2004)
- Anggota Departemen Pendidikan dan Ristek, DPP Partai Golkar
Penghargaaan:
- Piagam penghargaan dari Veteran RI
- Piagam Perjuangan dari Forum Exponen 66, Sumatera Utara
- Penghargaan masa kerja 25 tahun dari PTP Nusantara III
- Penghargaan masa kerja 30 tahun dari PTP Nusantara III

Seminar/Pelatihan:
- Diskusi Publik tentang “Demokratisasi & Globalisasi Pendidikan Nasional” yang diselenggarakan oleh DPP Partai Golkar, 17 April 2006 (sertifikat)
- Seminar Nasional “Penataan Sistem Agribisnis untuk Meningkatkan Pendapatan Nasional”, Fak. Ekonomi dan Fakultas Pertanian Univ. Amir Hamzah Medan, Medan, 28 Agustus 2004 (sertifikat)
- Seminar Sehari “Pengentasan Kemiskinan Daerah Tertinggal di Sumatera Utara”, Medan, 18 Nopember 1993
- Seminar Nasional “Penataan Sistem Agribisnis untuk Meningkatkan Pendapatan Nasional”, Fak. Ekonomi dan Fakultas Pertanian Univ. Amir Hamzah Medan, Medan, 28 Agustus 2004 (sertifikat)
- Seminar Sehari “Pengentasan Kemiskinan Daerah Tertinggal di Sumatera Utara”, Medan, 18 Nopember 1993
- Seminar Sehari “Menciptakan Peluang Kerja Melalui Proyek Mandiri Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Generasi Muda Islam Karo, Medan, 27 Oktober 2001
- Pekan Orientasi (up-grading) anggota DPRD Tk II dari Golkar ABRI dan Non ABRI Sumatera Utara oleh Staf Kekaryaan Daerah-B (Skarda –B) 13 s/d 23 Desember 1971 (sertifikat)
- Pelatihan PMT/GKM Tingkat Fasilitator PT Perkebunan III, Kanwil Depnaker Prov. Sumut, Medan, 26 April s/d 1 Mei 1993 (sertifikat)
- Pelatihan Instruktur Perkaderan Partai Golkar, Jakarta, 11 -12 Juli 2005 (sertifikat)
- Perkemahan Antar Satuan Karya Tingkat Nasional, 1 s/d 10 Juli, dalam rangka Pra Comdeca, The 1st World Community Development Camp 1993 di Lebakharjo, Malang tahun 1993 (sertifikat)
- Appresiasi Kehumasan PT Perkebunan, Jakarta 27-28 September ; Bandung 29 – 30 September 1993 (sertifikat)
- Diklat Juru Kampanye Daerah Tkt I Golongan Karya Sumatera Utara, Medan 2 Maret 1997 (sertifikat)

Penghargaaan:
- Piagam penghargaan dari Veteran RI
- Piagam Perjuangan dari Forum Exponen 66, Sumatera Utara
- Penghargaan masa kerja 25 tahun dari PTP Nusantara III
- Penghargaan masa kerja 30 tahun dari PTP Nusantara III

Hobi/Olah Raga:
- Tenis Lapangan
- OR Beladiri Tangan Kosong (TAKO)

Vokal, Namun Hargai Orang Lain

Dia anggota DPR yang tergolong vokal. Kritiknya terkadang sangat tajam, menyengat, sehingga memerahkan kuping para menteri dan pejabat yang menjadi mitra kerja Komisi IX DPR RI (Kependudukan, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi). Tapi seperti diakuinya, semua itu dilakukan dengan tulus.

Semata-mata dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan pembangunan. Sama sekali tidak ada niatnya untuk menjelek-jelekkan apalagi untuk menjatuhkan nama baik seseorang.

Saya hanya mengkritik kebijakan, bukan menyerang pribadi atau individu,” tandas Drs H Serta Ginting dengan gaya Medannya yang khas, saat diwawancarai Tokoh Indonesia di Gedung DPR beberapa waktu lalu.

Serta Ginting, mantan Ketua Federasi Serikat Pekerja Perkebunan (SP-BUN), ini mengakui bahwa sikap kritisnya itu sudah merupakan pembawaan lahir. Kapan pun dan di mana pun, terlebih dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat, sikap kritisnya akan muncul secara spontan. Anggota DPR dari daerah Pemilihan Sumut I (Kota Medan, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai) ini akan gerah setiap kali melihat sesuatu yang menurutnya kurang tepat. Terutama yang menyangkut program pembangunan, kebijakan, atau implementasinya di lapangan.

Ini misalnya terlihat ketika pemerintah memutuskan untuk menyalurkan paket bantuan kompensasi BBM kepada masyarakat miskin beberapa waktu lalu. Ketidaksetujuannya terhadap program ini langsung diungkapkan lewat pers dengan argumentasi yang cukup meyakinkan.

Menurut Serta Ginting, masyarakat kita pada dasarnya adalah pekerja keras. Karena itu, pemerintah harus menjaga agar etos kerja keras ini jangan sampai rusak akibat kebijakan pemerintah sendiri. Pemberian paket-paket bantuan, terlebih berupa uang, misalnya berupa dana kompensasi BBM justru kontraproduktif dan akan memanjakan masyarakat. Tidak merangsang masyarakat untuk bekerja keras (beretos kerja tinggi).

Ia mengingatkan bahwa dana tersebut diperoleh dari hasil kenaikan harga BBM. Sementara kebijakan ini (pengurangan subsidi/menaikkan harga BBM) telah membangkrutkan banyak perusahaan, sehingga mendorong PHK. Karena itu, Ginting berpendapat bahwa dana yang berjumlah triliunan rupiah tersebut semestinya dimanfaatkan untuk menciptakan lapangan kerja baru. Misalnya, untuk mengembangkan perkebunan sawit dalam skala besar-besaran di daerah-derah. Dengan demikian, selain dimanfaatkan untuk usaha produktif, upaya ini sekaligus menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan.

Demikian pula ketika Serta Ginting mengkritisi prosedur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang menurutnya masih berbelit-belit. Ia mengecam penanganan sejumlah kasus tenaga kerja yang masih sangat lamban. Termasuk ribut-ribut di seputar draft amandemen UU Ketenagakerjaan, hasil godokan pemerintah, yang menurutnya sebagai akibat dari kelambanan pemerintah sendiri. Ia bahkan pernah menyebut cara kerja Departemen Kesehatan ala pemadam kebakaran. Fenomena busung lapar beberapa waktu lalu sudah mewabah, tapi dengan mudahnya Menteri Kesehatan mengalokasikan dana untuk pembangunan prasarana dan sarana fisik, tudingnya seperti dikutip oleh pers ibukota beberapa waktu lalu.

Serta Ginting memang tipe manusia yang tegas dan lugas. Ia tidak bisa berindah-indah kata. Apa yang diyakininya kurang tepat, sikap penolakannya terlontar begitu saja.

Namun, terlepas dari sikap kritisnya itu, Serta Ginting tetaplah pribadi yang hangat dan menyenangkan. Mantan wakil ketua DPRD Tk I Sumut itu juga dikenal humoris, humanis, rendah hati, terbuka, merakyat serta jauh dari sikap feodal. Siapa pun teman bicaranya, humor-humor segar akan terlontar secara spontan, menghangatkan suasana. Keterbukaan dan sense of humor-nya itu menjadi salah satu daya tarik Bang Ginting, panggilan akrabnya, di mata orang lain.

Merakyat dan Membumi
Ia selalu ingat akan wejangan sang ayah: Jangan sombong! Dan itu memang dipraktekkannya dalam keseharian. Ia tetap ramah dan bergaul dengan siapa saja, mulai kalangan pejabat hingga rakyat biasa. Bercanda atau menepuk-nepuk bahu sopir waktu ia masih aktif di PT Perkebunan Nusantara III, baginya bukanlah perbuatan tabu. Walau sikap kerakyatan ini ternyata kurang bisa diterima kultur perkebunan yang waktu itu masih sangat feodal.

Ia pernah diperingatkan pimpinannya bahwa sikapnya itu sudah melanggar norma yang berlaku. Ibarat di kemiliteran, dia dinilai sebagai perwira yang tidak mampu menjaga wibawa. Tapi Ginting tidak peduli. Ia tetaplah sosok Ginting yang merakyat dan membumi. Dan pembangkangan terselubung ini harus dia bayar dengan mahal. Kenaikan pangkatnya untuk menjadi staf, selama bertugas di Rantauprapat, sempat tersendat.

“Setelah satu periode keanggotaan saya di DPRD, seharusnya saya sudah bisa jadi staf,” ujarnya mengenang. Hampir saja ia mengundurkan diri. Tapi sekitar tahun 1987, direksi yang baru menyadari bahwa Serta Ginting termasuk tipe yang sangat dibutuhkan perusahaan. Ia pun langsung ditarik ke kantor direksi dan dipercayakan sebagai humas.

Waktu itu, pengembangan perkebunan dengan Pola PIR tengah gencar-gencarnya dilakukan oleh BUMN Perkebunan termasuk oleh PTP III. Serta Ginting menunjukkan kelasnya sebagai jago lobi, khususnya dalam urusan hubungan kelembagaan, koordinasi dengan instansi terkait, masalah pertanahan, dan sebagainya.

Serta Ginting cukup lama bertugas sebagai Humas di perusahaan negara itu sambil merangkap sebagai anggota DPRD. Bahkan pada periode 1999-2004, Ginting menjadi Wakil Ketua DPRD Tkt I Provinsi Sumatera Utara. Di sinilah salah satu keunikan perjalanan karier Serta Ginting. Sebagai karyawan, ia memang tidak apa-apa dibanding anggota direksi. Ibarat di ketentaraan, ia hanyalah seorang perwira berpangkat kapten yang harus berhadapan dengan para jenderal berbintang dua,tiga dan empat. Tapi sebagai anggota dewan, ia memiliki kapasitas untuk memanggil dan meminta keterangan dari direksi. Termasuk saat menjadi anggota DPRD Tkt II Kabupaten Labuhan Batu, di mana sejumlah unit usaha PTP III berada.

Namun, direksi sering kurang bisa memahami kedudukan masing-masing. “Biar pun sudah di gedung DPRD, mereka masih merasa bahwa saya adalah anak buah mereka,” katanya. Namun, ia tetap konsisten dengan posisinya sebagai anggota dewan yang harus membela kepentingan rakyat.
Di DPR, selain angggota Komisi IX, Ginting juga termasuk anggota Panitia Anggaran DPR. Panitia yang tugas utamanya mencermati dan mengkritisi angka-angka APBN. Merupakan lembaga prestisius dan sering dikonotasikan sebagai tempat basah.

Tapi Ginting, alumnus Universitas Amir Hamzah Medan, itu hanya merendah. “Manusia macam saya ikut menghitung-hitung anggaran negara yang berjumlah ratusan triliun rupiah? Merupakan karunia dan sama sekali tak pernah terbayang di benak saya,“ ujarnya. Tentang istilah “basah” yang diarahkan ke panitia ini, ia hanya terkekeh. “Kita wajar-wajar sajalah,” katanya seraya mengingatkan bahwa sebagian besar masyarakat kita tengah dilanda kesusahan.

Pernyataan ini paling tidak meneguhkan prinsipnya untuk tetap berada di jalan yang lurus. Ia begitu mensyukuri apa yang telah diperolehnya selama ini. Sebagai seorang anggota dewan, ayah dari lima anak dan 11 cucu ini secara ekonomis sudah cukup mapan. Semua anak-anaknya (3 putra dan 2 putri) sudah berkeluarga dan mandiri. Dua putranya memilih jadi wiraswasta, sementara putra paling bungsu perwira menjadi polisi (lulusan Akpol), kini bertugas di Bengkulu.

Dengan sukses anak-anaknya itu, plus karier politiknya yang terus berkibar, serta karakternya yang periang, tidak mengherankan Bang Ginting tampak 10 tahun lebih muda dari usianya yang sebenarnya, sudah 60 tahun.

Betul-Betul dari Bawah
Ginting mungkin sudah ditakdirkan untuk menghabiskan sebagian besar usia produktifnya menjadi wakil rakyat. Masa pengabdiannya di bidang ini sejak anggota DPRD Kabupaten Labuhan Batu hingga anggota DPR, sudah sekitar 22 tahun. Ia benar-benar menapak karier dari bawah. Karena seperti diakuinya sendiri, dia tak memiliki siapa-siapa, misalnya keluarga, yang bisa mengatrol atau mengarahkan perjalanan kariernya.

Tanah kelahirannya, Desa Munte, sebuah desa yang waktu itu dijadikan sebagai tempat pengungsian penduduk, terkait dengan revolusi fisik di negeri ini. Desa itu sangat terpencil, sekitar 50 kilometer dari Kabanjahe, ibukota Kabupaten Tanah Karo, Provinsi Sumatera Utara. Desa itu tak ada lagi di peta bumi karena memang sudah dihapuskan. Kalau Kecamatan Munte masih ada sampai sekarang.

Kariernya benar-benar dimulai dari nol. Ayahnya hanyalah seorang kepala Sekolah Rakyat dan ibunya jadi pedagang kue di kampungnya. Pada masa kanak-kanaknya, di tahun 50-an, Ginting kecil lebih banyak bermain-main, cenderung santai. Maklum, selain orang tuanya kepala SR (jabatan yang cukup disegani waktu itu), ia juga merupakan paling bungsu dari enam bersaudara.

Namun, sifat kepemimpinannya waktu itu mulai terlihat. Dialah yang selalu jadi pemimpin di antara kawan-kawannya. Tempat bertanya, ke mana mereka akan bermain.

Sebagai bungsu, di tengah keluarga ia seorang anak yang dimanjakan. Tapi kemanjaan itu hanya terlihat pada masa kanak-kanak. Mendekati masa remaja, Serta Ginting berubah total. Selepas SMP di Kabanjahe, ia sudah mencoba merantau ke luar daerah. Penyebabnya, seperti diakuinya sendiri, setelah berkelahi dengan anak-anak di kampungnya. Untuk menghindari perkelahian yang lebih parah, ia memilih minggat untuk sementara, setelah itu kembali lagi ke kampung. Tapi perantauan di usia yang masih sangat muda itu justru mengasikkannya.

Pertama kali ia ke Prapat dan sempat mencoba-coba jadi kenek bus. Setelah itu ke Rantauprapat. Sejarah kehidupannya mencatat bahwa justru di kota inilah bintangnya bersinar dan mengantarkannya menjadi pahlawan keluarga.

Menjelang meletusnya G-30-S/PKI, ia mencoba mewujudkan cita-cita yang lama terpendam: menjadi tentara. Peluangnya untuk diterima waktu itu, cukup besar. Mereka sudah memasuki tahap ujian akhir di Pematang Siantar. “Kepala saya sudah dibotaki,” kenangnya.

Tapi tiba-tiba pemberontakan G-30-S/PKI meletus. Proses penyaringan masuk tentara dibatalkan. Mereka dipulangkan ke daerah masing-masing. Panggilan untuk mengikuti seleksi masuk ke tentara masih ia terima beberapa tahun kemudian. Tapi tak mungkin lagi bisa dipenuhi karena Serta Ginting sudah berkeluarga. Padahal, umurnya waktu itu baru sekitar 22 tahun.

Selanjutnya, ia berkecimpung di dunia keras. Ia menjadi jagoan terminal bis, dan bioskop yang ada di Rantauprapat. Ia termasuk yang sangat disegani. Pihak perkebunan, PTP III pun merekrutnya menjadi karyawan dengan tugas utama sebagai centeng untuk mengamankan kebun dari para pencuri TBS (Tandan Buah Segar) dan karet.

Pada masa itu, Serta Ginting juga aktif di berbagai organisasi kepemudaan. Ketika KNPI terbentuk tahun 60-an, untuk Sumut, pembentukan cabang pertama justru di Kabupaten Labuhan Batu, dengan Serta Ginting sebagai ketuanya. Semula ia sempat ditantang tokoh pemuda setempat. Alasan mereka karena Ginting bukan putra asli daerah tapi kok tiba-tiba jadi ketua. Tapi akhirnya penolakan itu bisa diredam setelah Ginting menunjukkan kemampuan dalam berorganisasi.

Ketika meletus pemberontakan G-30-S/PKI, ia terpilih menjadi salah satu Ketua Periodik Komando Aksi Pemuda Pengganyangan G-30-S/PKI untuk Kabupaten Labuhan Batu.
Sebelumnya, Ginting pun sudah aktif dalam pendirian dan organisasi SOKSI tahun 1964 dan kemudian Sekber Golkar Kabupaten Labuhan Batu. Karena aktivitasnya di organisasi dan ketokohannya di dunia organisasi pemuda tersebut, ia terpilih menjadi anggota DPRD. Selama 16 tahun, 1971 – 1987, atau 3 periode, ia menjadi anggota DPRD Tk II Kabupaten Labuhan Batu, merangkap sebagai karyawan PTP III. Suatu prestasi yang luar biasa waktu itu. “Sangat jarang pemuda yang bisa menjadi anggota sampai tiga periode,” ujar Ginting mengenang.

Tahun 1987, masih merangkap sebagai anggota DPRD Kabupaten Labuhan Batu, Serta Ginting ditarik ke kantor direksi PTP III di Medan. Namun Kabupaten ini sudah begitu melekat di hatinya karena sebagian besar perjalanan hidupnya dihabiskan di daerah perkebunan itu.
Demikian juga sebaliknya, masyarakat Kabupaten Labuhan Batu menganggap Ginting sebagai putra asli daerah. Ini misalnya terlihat saat pengajuan nama calon untuk anggota DPRD Tk I Sumatera Utara, sekitar 1997. Ginting didaulat mewakili daerah ini dan langsung ditempatkan di urutan nomor satu. Calon lain berpangkat kolonel justru menduduki urutan nomor dua.

SOKSI dan Golkar
Di kantor direksi, Serta Ginting dipercayakan menangani kehumasan. Ia merasa sangat cocok dengan tugas ini. Alasannya, naluri organisasi dan politiknya tetap bisa tersalurkan. Ini membuka kesempatan luas baginya untuk bergaul dengan berbagai kalangan mulai dari wartawan, pejabat, tokoh masyarakat, hingga petani/pekebun dan sebagainya. Kegiatannya dalam berorganisasi, khususnya di SOKSI dan Golkar juga bisa berjalan secara simultan. Tak mengherankan, ketika masih menjabat humas perusahaan, ruang kerjanya tak pernah sepi dari kunjungan tamu dari berbagai latar belakang, khususnya dari kalangan ormas politik dan organisasi kepemudaan.

Sejumlah jabatan dalam beberapa organisasi politik telah dijalaninya antara lain sebagai Wakil Ketua KNPI, wakil ketua DPD Partai Golkar Provinsi Sumatera Utara, Ketua Depidar SOKSI Sumatera, Ketua Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Seluruh Indonesia (1999 – 2004) dan Ketua Depinas SOKSI (Bidang Ketenagakerjaan) sampai sekarang.

Sementara di lembaga legislatif, selain anggota Komisi IX DPR dan anggota Panitia Anggaran DPR, Ginting juga termasuk Anggota Grup Kerjasama Bilateral DPR-RI dengan Parlemen Belgia, anggota Pansus RUU tentang PERPU No. 1 Thn 2005, Anggota Pansus RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan anggota Pansus RUU tentang Narkotika (lihat Biodata)

Dalam kancah politik, pertarungan alias rivalitas memang sering mendebarkan. Tapi menurut Ginting, semuanya harus diterima dengan dada lapang dan jiwa besar. “Menerima kekalahan dengan sportif justru menunjukkan kelas kita sebagai politisi,” ujarnya. Ini misalnya dibuktikan saat ia maju memperebutkan posisi kursi Ketua DPRD Tkt I Sumatera Utara 2001 lalu.

Waktu itu kekalahannya cukup dramatis. Ia hanya tertinggal satu suara dari calon PDIP yang kemudian terpilih menjadi ketua. Serta Ginting meraih 40 suara sementara saingannya 41 suara. Namun demikian, ia tetap berjiwa besar sekaligus memberikan contoh kedewasaan dalam berpolitik dengan tetap menghargai hasil pemilihan yang sangat demokratis itu. Ia juga menunjukkan kematangan politiknya dengan tetap menjalin kekompakan dan kerjasama yang baik bersama seluruh unsur pimpinan DPRD Tkt I selama periode 1999 -2004.

Sikap yang sama juga, ia tampilkan tatkala gagal dalam perebutan kursi Wakil Gubernur Sumut untuk periode 2003-2008. Waktu itu, Ginting berpasangan dengan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut. Namun, pasangannya kalah oleh duet Rizal Nurdin-Rudolf Pardede.

Tapi, sebagai politikus yang sudah matang, ia tetap tegar menerima kekalahan dan tetap menghargai keputusan masyarakat Sumut. Sebagai wakil ketua DPRD Tkt I Sumut kala itu, ia tetap menjalin hubungan yang baik dengan gubernur terpilih.

Kemudian, selesai masa bakti DPRD Tk I Sumatera Utara sekitar awal 2004, ia pun didaulat oleh sejumlah kader Golkar Sumut untuk bertarung memperebutkan salah satu kursi di Senayan. Akhirnya, ia memang terpilih dan menjadi salah satu dari 6 utusan Partai Golkar Sumut. Ia mewakili daerah pemilihan (Dapil) Kota Medan, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Namun dengan merendah, ia mengakui bahwa keberhasilannya ke Senayan juga berkat peran dan jasa Drs H Wahab Dalimunthe. Dalimunthe selaku Ketua DPD Golkar Sumut memilih berkiprah sebagai Ketua DPRD Tkt I Provinsi Sumut. Ia pun mendukung agar Serta Ginting lolos menjadi “Orang Senayan”.

Sukses dalam karier politik, diakuinya berkat doa seluruh anggota keluarga dan sahabat-sahabatnya. Dari 6 orang bersaudara, hanya Ginting yang berkiprah di bidang politik sekaligus mengangkat nama keluarga. Pesan ayahnya yang tetap diingat sampai sekarang yakni: dalam perantauan, carilah dulu ayah angkat, jangan pernah sombong dan jangan melawan tentara. Urusan apa dengan tentara? Ternyata, sebelum menekuni profesi sebagai guru, kepala SR, ayah Bang Ginting, ini pernah juga menjadi anggota militer dengan pangkat terakhir sersan. Karena pesan itu juga barangkali, ia mengaku risih menghadapi pasangan Rizal Nurdin-Rudolf Pardede dalam perebutan kursi gubernur dan wakil gubernur Sumut beberapa waktu lalu.

Seperti diakui sendiri, Serta Ginting memang tidak pernah berkelahi dengan tentara. Justru sebaliknya yang terjadi, dia banyak memiliki sahabat dari kalangan militer, baik saat bertugas di Labuhan Batu, hingga sekarang. Setelah menjadi orang Jakarta pun, yang menjadi sentrum kekuasaan dan politik republik tercinta ini, sebagian besar dari sahabat-sahabatnya berasal dari kalangan militer.

Seni Berpolitik
Peluang untuk menggapai puncak karier, terlebih di bidang politik, tidaklah mudah. Seperti yang lain, Serta Ginting pun telah melalui persaingan yang ketat dan jalan berliku. Intrik, jegal-menjegal merupakan hal lumrah dalam dunia politik. Artinya, tanpa kharisma yang menonjol, seseorang akan mudah terpental.

Tapi di sinilah kelebihan Bang Ginting. Dengan sense of humor, keramah-tamahannya, serta humanisnya, ia mampu merangkul kawan dan lawan sekaligus. Inilah hakekat seni berpolitik dan Bang Ginting termasuk seniman di bidang itu.
Sebagai pribadi yang rendah hati, terkadang Serta Ginting melihat perjalanan hidupnya ibarat mimpi. Ia menggapai posisinya sekarang dengan memulainya dari nol. Keluarga memang tidak ada yang bisa diharapkan. Salah satu abangnya hanya pernah jadi kepala desa. “Ia menjabat sampai 26 tahun, sampai-sampai dia bosan sendiri,” ujar Ginting tersenyum.

Perjalanan hidup, suratan tangan memang terkadang sangat misterius. Dan inilah yang dilakoni Serta Ginting. Walau merupakan anak paling bungsu, justru dialah yang menjadi bintang dan pengangkat citra keluarganya.

Sumber : tokoh-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...