Cari Blog Ini
Senin, 20 Juni 2011
Boigrafi Arsinah Sumetro
Nama : Arsinah Sumetro
Lahir : Palangkaraya, 6 Juni 1959
Suami : Rivani (Alm)
Anak :
1. Sukardi
2. Ahmad Rivani
3. Nawarah
4. Hapsah
Pendidikan:
SMA Persamaan
Karir:
- Staf administrasi PT Kalimantan Hio (1979-1986)
- Staf LSM Agromitra (2001-2003)
- Pendiri dan Ketua LSM Anak Bangsa di Entikong, Kalimantan Barat (2004-sekarang)
Srikandi Pembela Buruh Migran
Prihatin atas nasib buruh migran perempuan yang sering diperlakukan secara semena-mena di negeri jiran Malaysia, Arsinah Sumetro mendirikan LSM Anak Bangsa. Srikandi yang sudah menjanda dan hanya lulusan SMA Persamaan, itu berjuang secara kesatria untuk menampung dan membela hak-hak buruh migran.
Dia merasa kasihan kepada kaum perempuan yang jadi buruh di negara lain karena mereka sering kali dilecehkan dan dijadikan barang dagangan, tanpa perlakuan yang manusiawi.
Arsinah bertekad membela kaum buruh migran berbekal pengalaman mendampingi korban perdagangan manusia (trafficking) saat bergabung di lembaga swadaya masyarakat (LSM) Agromitra (2001-2003). Kendati ibu empat anak ini bukanlah lulusan sarjana hukum, hanya mengantongi ijazah SMA persamaan, karena putri pasangan Sumetro dan Amas Ahmad ini berasal dari keluarga miskin, dia tetap gigih dan berani membela hak-hak buruh migran di tengah segala keterbatasan itu. Bagi Arsinah pendidikan bukanlah kendala untuk membela sesama.
Walau bukan orang bidang hukum, tetapi dia berani bergerak dalam bidang hukum. Dalam upaya pembelaannya, dia tidak pernah menyatakan diri sebagai pengacara atau kuasa hukum. “Saya hanya membela hak buruh migran,” katanya sebagaimana dikutip Kompas (4 Mei 2007). Sementara untuk dapat menguasai materi hukum, Arsinah belajar secara otodidak dari buku-buku dan ikut seminar.
Arsinah sudah menjanda sejak 1989 dan harus menghidupi empat anak sendirian. Rivani, suami yang menikahinya tahun 1975, meninggal dunia karena sakit. Perjuangan Arsinah sebagai orangtua tunggal untuk mencukupi kebutuhan keluarga sama sekali tidak melunturkan semangatnya untuk membela buruh migran.
Keberanian dan semangat itu pula yang membuat ia pernah mengalami beragam tindak kekerasan saat membela buruh migran. Ia pernah dicekal, diculik, dipukuli, dan dibuang ke hutan saat membela warga Indonesia yang menjadi korban trafficking di Malaysia.
Kekerasan yang pernah dia alami terus melekat dalam memori kehidupan Arsinah. Satu contoh terjadi pada 27 September 2006, saat dia menjemput perempuan 17 tahun asal Kabupaten Landak yang melarikan diri dari majikannya.
Remaja itu sudah 11 bulan menjadi pembantu rumah tangga tanpa diberi gaji di Malaysia. Bahkan, remaja itu sering disiksa hingga babak belur oleh majikan dan diberi makan yang sama dengan hewan peliharaan. Dalam pelariannya, si remaja diselamatkan oleh satu keluarga di Malaysia. Keluarga itu pula yang menghubungi Arsinah agar menjemputnya.
Dalam perjalanan pulang bersama TKI tadi, tepatnya di Sibu, Malaysia, Arsinah dicegat sejumlah lelaki tak dikenal. Mereka hendak merebut si TKI. Arsinah menantang. Meski sangat tidak imbang, ia berkelahi dengan beberapa lelaki itu hingga berhasil kabur membawa lari TKI yang dijemputnya.
"Saat masih di Agromitra tahun 2002, waktu menjemput buruh migran yang dilacurkan di Malaysia, saya malah sempat diculik dan dibuang ke hutan di Miri (Malaysia). Nyatanya, saya bisa selamat dan sampai sekarang masih hidup. Setiap orang akan mati. Kalau Tuhan menghendaki saya mati dengan cara begini, apa lagi yang harus saya takutkan," ujarnya.
Atas keprihatinan dan pengalaman itu Arsinah Sumetro mendirikan LSM Anak Bangsa di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, 14 Januari 2004. Entikong adalah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Tebedu di Sarawak, Malaysia. Kedua daerah itu merupakan gerbang resmi kedua negara. Di Entikong, Arsinah mengawali kiprah membela buruh migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.
Sosok Arsinah bersahaja. Penampilannya santun dengan kerudung menghiasi kepala. Intonasi bahasa Arsinah lembut, tetapi pilihan kata dan kalimatnya selalu lugas, menyiratkan semangat yang meledak-ledak.
Dengan penampilannya itu, puluhan kali Arsinah menjemput dan membela TKI yang bermasalah di Malaysia, tanpa dikawal atau didampingi orang lain. Jika ada buruh migran yang gajinya tidak dibayar, ia pula yang menagih kepada majikan dan memberikannya ke buruh tersebut.
"Saya pelajari undang-undang Malaysia yang mengatur ketenagakerjaan. Saya menggunakan itu untuk menuntut dan membela hak-hak buruh migran. Sering kali saya harus berdebat, terlebih dengan Polisi Diraja Malaysia, sebelum akhirnya mereka membantu menagih gaji buruh ke majikan. Selama mereka tahu kita menguasai hukum Malaysia, tuntutan biasanya dipenuhi," papar Arsinah.
Berdebat dengan petugas
Karena sering melakukan pembelaan, Arsinah pernah berdebat dengan petugas imigrasi Malaysia yang melarangnya memasuki Malaysia, sekitar Juni 2003. Padahal, saat itu ia memiliki paspor dan dokumen lengkap. Petugas tidak mempunyai alasan yang kuat untuk mencekal, dan ia juga mengancam akan melaporkan kasus ini kepada Perdana Menteri di Kuala Lumpur. Akhirnya, pihak imigrasi Malaysia menyerah.
Setelah menjemput buruh migran, Arsinah menampung mereka di rumahnya. Para pekerja itu dia rawat, dipulihkan semangat dan psikis mereka sebelum dipulangkan ke rumah masing- masing.
Arsinah menegaskan, dirinya dan LSM Anak Bangsa tidak pernah memungut uang sepeser pun dari para buruh migran.
"Aktivitas Anak Bangsa selama ini didanai donatur dan jaringan peduli HAM. Mereka bersedia memberi dukungan karena mengetahui persis komitmen dan integritas Anak Bangsa dalam membela hak buruh migran," ucapnya.
Anak Bangsa yang didirikan Arsinah bukanlah LSM yang memiliki kantor mewah, lengkap dengan pendingin ruangan, serta kendaraan operasional. Sejak tahun 2001 hingga awal 2007, Anak Bangsa menyewa garasi seluas 4 meter x 5 meter untuk dijadikan sekretariat.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono yang berkunjung ke Entikong, Januari lalu, secara mendadak memutuskan singgah dan menyaksikan sendiri kesederhanaan kantor Sekretariat Anak Bangsa.
Kegigihan dan integritas membela hak-hak buruh itu ternyata berbuah kepercayaan yang semakin besar dari donatur, ataupun jaringan pemerhati hak-hak buruh migran.
Departemen Pendidikan Nasional juga tergerak membangunkan sebuah gedung untuk aktivitas pendidikan luar sekolah. Fasilitas itu nantinya juga bisa dimanfaatkan Anak Bangsa untuk mendidik buruh migran yang mereka tampung. (C Wahyu Haryo PS, Kompas 4 Mei 2007)
Sumber : tokoh-indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar