Malem Sambat Kaban, MSi |
Nama : Malem Sambat Kaban, MSi
Lahir : Binjai, 5 Agustus 1958
Agama : Islam
Isteri : Nurmala Dewi
Anak : Tujuh orang
Ayah : AM Kaban
Ibu : S. Tarigan
Jabatan :
- Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009 )
- Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang.
Pendidikan:
- SMAN 7 Medan
- S1 Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya
- S2 Institut Pertanian Bogor
Karir:
- Dosen, Universitas Ibnu Khaldun, Bogor
- Dosen, Universitas Islam As Syafiiyah
- Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Ibnu Khaldun
- Anggota DPR dan MPR
Organisasi:
- Sekjen DPP Partai Bulan Bintang
- Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang
Kegiatan Lain:
- Jakarta Public Relation
- Peneliti potensi ekonomi wilayah Taman Gunung Leuser pada 1992
- Ketua tim Penelitian Potensi Ekonomi Lemah di tahun 1993
- Peneliti muda pada studi pengkajian Strategi Pengusahaan Anak Perusahaan Joint Venture Pertamina pada 1994
Alamat:
Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt.4
Jl. Jend. Gatot Subroto
Telp: (021) 5730216, 5730278, 5730213
Fax: (021) 5700226
Bintang Bulan Bintang di Kabinet
Dia bintang dari Partai Bulan Bintang di Kabinet Indonesia Bersatu. Sesaat setelah diangkat menjabat Menteri Kehutanan, MS Kaban, bernama lengkap Malem Sambat Kaban, langsung melakukan gebrakan memberantas illegal logging. Pria kelahiran Binjai, Sumatera Utara, 5 Agustus 1958, ini dengan cepat menguasai masalah utama yang perlu segera diatasi di lingkup tugas`departemennya.
Padahal, semula dia tidak menduga dan mengaku tak pernah bermimpi menjadi menteri, apalagi menjadi Menteri Kehutanan. Bahkan, saat dilantik pun, dalam hati, dia masih bertanya-tanya. ''Apa iya aku jadi menteri?'' sebagaimana dikemukakannya kepada pers.
Suami dari Nurmala Dewi dan ayah dari tujuh anak ini, diangkat menjabat Menteri Kehutanan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat dia menjabat Sekretaris Jenderal DPP Partai Bulan Bintang, salah satu partai yang mendukung pencalonan pasangan Capres-Wapres SBY-JK dari sejak awal, bersama Partai Demokrat dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Tak lama setelah diangkat jadi menteri, dia pun terpilih menjadi Ketua Umum DPP PBB sekaligus Ketua Formatur dalam Muktamar II PBB di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Minggu 1/5/2005. Kaban terpilih, setelah kandidat terkuat lainnya Hamdan Zoelva, menyerahkan dukungan kepadanya, tanpa harus melalui pemilihan tahap kedua. Kaban menggantikan Yusril Ihza Mahendra yang kemudian menjabat Ketua Dewan Surya.
Nama Adat
Menteri Kehutanan bernama lengkap, Malem Sambat Kaban, yang disebutnya sebagai 'nama asli sebelum syahadat', merupakan nama adat. Kaban, putera bangsa berdarah Karo, itu berikrar memeluk Islam semasa mahasiswa di Universitas Jayabaya, Jakarta.
Dia berasal dari keluarga besar. Terlahir dari pasangan AM Kaban, pedagang, dan S Tarigan, ibu rumah tangga, sebagai anak keenam dari 11 bersaudata. Sebuah keluarga dari Suku Karo, salah satu suku di Sumatera Utara. Ayahnya tak lahir sebagai Muslim, melainkan sebagai keluarga yang taat pada adat. Maka nama anak-anak diberikan sesuai nama adat. MS di depan marga kaban adalah kepanjangan dari Malem Sambat. Malem itu artinya baik. Sambat artinya menolong. Jadi Malem Sambat artinya orang yang baik dan suka menolong.
Masa kecilnya terbilang senang-senang saja, walaupun lantaran kenakalan, beberapa tahun dia harus dibesarkan di lingkungan perkebunan, tidak bersama orangtuanya. Secara ekonomi, orang tuanya tergolong mampu. Ayahnya seorang pedagang. Saat orang lain belum punya mobil, orangtuanya sudah punya mobil. Kala itu, ayahnya punya empat buah penggilingan padi. Namun, mulai 1968, bisnis penggilingan padi ayahnya menurun, sehingga usahanya dialihkan ke perkebunan karet dan kemudian ekspansi ke perkebunan kelapa sawit.
Namun karena ketika kecil, dia memang agak nakal dan susah diatur, maka ketika duduk di kelas VI SD, untuk membina, dia 'diasingkan' oleh orangtuanya dan tinggal bersama orang yang tak dikenal di perkebunan di Deli Serdang. Mula-mula tinggal di rumah asisten perkebunan. Saat itu, tiap hari dia wajib menyiram kebun dan macam-macam pekerjaan, hal yang tak pernah wajib dilakukannya saat tinggal bersama orang tuanya.
Namun tak berapa lama, karena masih susah diatur, dia pun diusir dari rumah asisten perkebunan itu. Akhirnya, selama dua tahun, dia tinggal di rumah kosong, rumah staf perkebunan yang tidak berpenghuni. Namun, karena disiplin di SMP mengharuskan seorang siswa harus tinggal dengan orangtua atau wali, akhirnya dia pindah ke rumah seorang buruh paling rendah di perkebunan itu.
Selama tiga tahun, dia tinggal di rumah buruh perkebunan yang kondisi ekonominya sangat sederhana, bahkan menderita. Di situ dia menikmati beras yang bau apek. Nasinya hanya bisa dimakan kala hangat. Begitu dingin dan menjadi kering tidak bisa lagi dimakan.
Waktu itu, dia dapat jatah beras bagus sebanyak 16 kilogram per bulan dari orang tuanya. Namun oleh induk semangnya, buruh perkebunan itu, beras bagus itu dijual untuk membeli lauk dan keperluan lainnya. Setiap hari makanannya nasi apek dengan lauk sayur ikan teri dan sambal dengan kuah yang dibanyaki.
Selama hidup bersama keluarga buruh perkebunan itu, dia menikmati suka-dukanya jadi buruh di perkebunan. Di sana dia banyak belajar tentang arti kehidupan. Namun di situ dia menikmati hidup dengan segala dinamikanya. Terdidik bergaul dengan anak karyawan perkebunan yang susah, namun, di sekolah bergaul dengan anak-anak staf perkebunan.
Padahal budaya feodalis sangat kental dalam sistim pergaulan dan kemasyarakatan di lingkungan perkebunan kala itu, bahkan mungkin hingga saat ini. Anak-anak staf perkebunan sangat jarang mau bergaul dengan anak-anak karyawan (buruh). sebaliknya anak-anak buruh merasa minder bergaul dengan anak-anak staf. Namun, Kaban kecil bisa menerobos tembok feodalis itu. sebab dia memang bukan anak buruh dan juga bukan anak staf, melainkan anak seorang pedagang.
Pada tahun pertama di bangku SMP, dia sempat tinggal kelas karena susah diatur. Kala itu, tiap pekan dia mendapat peringatan dari guru. Tapi, walau dia susah diatur, nilai pelajarannya tak pernah buruk. Setiap kali ujian dia mendapat nilai yang baik. Sehingga para gurunya selalu tak habis pikir. Tapi karena kelakuannya yang sulit diatur dan dianggap nakal, dia pun terpaksa tidak naik kelas.
Setelah tinggal kelas, dia pun tersentak dan tersadar. Pada tahun kedua duduk di kelas satu SMP, kenakalan kanak-kanaknya berkurang. Dia bisa lebih tertib mematuhi disiplin. Sehingga setiap catur wulan, dia pun mendapat peringkat bagus di kelasnya.
Ada seorang guru, bernama Tahir, yang tak lepas dari kenangan masa kenakalannya di sekolah. Sang Guru pernah memukulnya dengan buku. Saking marahnya, guru mata pelajaran Kewarganegaraan itu memukulnya memakai buku dengan begitu kerasnya sehingga buku itu pun sobek dan kertasnya berserak. Namun, setelah dewasa, dia tahu kemarahan guru itu karena rasa sayangnya. Sehingga Sang Guru itu masih selalu ingat, kalau bertemu selalu menyapanya dengan senang.
Setelah tamat SMP, dia pindah ke Medan dan sekolah di SMAN 7 Medan. Di Medan dia juga kost. Pengalaman hidup di perkebunan dan kost di Medan, sangat besar memengaruhi jalan hidupnya. Hidup jauh dari orang tua menjadi pelajaran hidup yang berharga baginya. Di situ dia menimba banyak pelajaran dalam mengarungi hidup.
Setamat SMA, dia hijrah ke Jakarta karena terobsesi dengan perjuangan aktivis mahasiswa pada dasawarsa 1970-an. Sudah sejak duduk di bangku SMP dia mengagumi para aktivis mahasiswa seperti Dipo Alam, Hariman Siregar, Akbar Tandjung, dan Heri Akhmadi yang disebutnya Si Sepatu Laras.
Apalagi dia sering baca kopian koran Salemba. Maka sesaat tamat SMA, dia meminta kepada ayahnya untuk kuliah di Jakarta. Dengan harapan, dalam hati, ingin bertemu dengan para aktivis itu. Ayahnya sempat melarang. Namun karena dia berkeras, akhirnya diizinkan. Apalagi, kakaknya juga iku mendukung. Setelah di Jakarta, dia pun bisa memenuhi impiannya bertemu dengan para aktivis itu.
Dia pun masuk Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya, Jakarta. Lalu dia sempat masuk resimen mahasiswa. Setelah itu, barulah dia berkenalan dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan, ia pernah menjadi Ketua HMI Jakarta.
Masuk Islam
Saat mahasiswa itulah dia berikrar masuk Islam tahun 1980-an. Dia belajar soal Islam dari membaca buku dan pengalaman masa kecil. Ketika masih duduk di bangku SD, setiap hari Minggu dia diajak ke gereja. Lalu di sekolah, guru agama meminta siapa yang tak beragama Islam keluar. Dia pun ikut keluar. Namun dia tetap melihat dari jendela. Kala itu, dia mendengar, bahwa Tuhan itu satu, tidak beranak dan diperanakkan, tak ada yang sama dengan dia.
Setelah mahasiswa, dia merasa lebih logis menerima apa yang diajarkan guru agama waktu di SD itu. Maka dia pun memilih masuk Islam dan aktif di organisasi mahasiswa Islam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sampai pernah menjadi Ketua HMI Jakarta.
Kala itu, pada rezim Orba, dia tergolong mahasiswa yang amat kritis. Sehingga kekritisan sering membuat dirinya dicekal. Padahal pada masanya jadi mahasiswa itu adalah zaman Kampus Kuning, tahun 1978. Kala itu, awal-awal dari pembreidelan Dewan Mahasiswa dan lahirnya NKK BKK.
Dia termasuk mahasiswa yang tidak setuju atas NKK BKK. Bahkan, sesungguhnya mahasiswa yang bersikap seperti ini sangat mendominasi. Para mahasiswa yang berpikir oposisi terhadap pemerintah itu sangat kental. Waktu itu, para mahasiswa didoktrin para senior.
Pada awalnya, Kaban secara pribadi, masih resisten dengan organisasi kemahasiswaan. Sehingga dia malah tertarik masuk resimen mahasiswa. Tapi tak berapa lama, setelah dia masuk Islam, Kaban pun masuk HMI dan mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.
Dicekal
Masa yang paling berkesan baginya adalah tahun 1983-1985, kala dunia kampus sangat tidak steril dari intelijen. Saat itu, tak ada aktivitas mahasiswa yang tak terekam intelijen. Kaban merasa yakin bahwa nyaris semua elemen mahasiswa dipakai intelijen.
Hal ini sangat terasa. Contohnya, ketika gencar-gencarnya dia ikut mengkritisi dan tidak setuju penunggalan azas Pancasila, sejak saat itulah dia menikmati panggilan-panggilan interogasi dan pencekalan cukup lama. Pencekalan itu baru gugur setelah Pak Harto mundur 1998.
Salah satu pencekalan yang dialaminya adalah ketika mendapat rekomendasi dari Pak Natsir untuk sekolah ke Malaysia. Pak Natsir merekomendasinya kepada Anwar Ibrahim yang waktu itu masih menjabat menteri, untuk mendalami Ekonomi Islam di Malaysia. Bahkan, dia sudah direkomendasi MUI. Namun dia batal belajar ke Malaysia karena dicekal.
Dia juga pernah mengalami pemanggilan, pencekalan, dan penahanan kota. Bahkan pernah dalam satu hari harus lapor dua kali. Namun demikian, dia tidak surut, karena yakin suatu saat rezim Soeharto pasti bakal runtuh.
Terjun ke Dunia Politik
Setelah menamatkan studinya di Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya, Kaban berkecimpung dalam pengembangan sumber daya manusia di Jakarta Public Relation. Dia terjun meneliti potensi ekonomi wilayah Taman Gunung Leuser pada 1992 dan berbagai penelitian lain.
Kaban yang kemudian meraih gelar S2 dari program Pasca Sarjana IPB, aktif pula sebagai pengajar di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor. Dia pun sempat menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Ibnu Khaldun. Hingga kini, ia masih tetap mengajar mata kuliah ekonomi mikro syariah setiap Jumat. Selain itu, dia juga aktif berceramah di berbagai tempat dan kegiatan.
Kemudian, setelah reformasi bergulir, dia pun terjun ke dunia politik. Sebelumnya, pada Pemilu 1997, sebenarnya dia sudah dilamar PPP yang kala itu diketuai Ismail Metareum. Dia diminta masuk PPP dan dijanjikan akan dikasih nomor jadi dari Jawa Barat. Namun, waktu itu Kaban belum terpikir untuk masuk partai politik. Sebab kala itu dia berpikir, untuk apa jadi anggota DPR/MPR, dalam sistem perpolitikan yang sangat terkontrol, dimana presidennya pun masih Soeharto terus. Maka dia pun tetap memilih mengajar saja.
Namun, menjelang reformasi, Kaban sering berkumpul dan diskusi dengan para senior, orangtua. Salah satu topik yang banyak dibicarakan adalah kalau Soeharto jatuh kita mau ngapain?
Lalu, waktu itu mereka intensif membicarakan masalah pendirian partai politik. Pada mulanya mereka ingin mendirikan parpol, dimana ketuanya Amien Rais dan Yusril jadi sekjennya.
Namun, ketika pembicaraan sampai pada soal nama dan asas partai, tidak tercapai kesepahaman.
Akhirnya Amien Rais dan kawan-kawan memilih mendirikan partai sendiri, yakni PAN (Partai Amanat Nasional). Sementara, Yusril dan Kaban bersama kawan-kawan tetap akan mendirikan Partai Bulan Bintang yang berasas Islam, memperjuangkan Piagam Jakarta. Yusril didaulat jadi ketua umum. Kemudian, Yusril pun langsung mengusulkan Kaban jadi Sekjen.
Kala itu, Kaban langsung menyatakan keberatan, karena merasa belum ada pengalaman. Akhirnya, Anwar Haryono (alm) menelepon: 'Saya dengar kabar, Anda menolak jadi Sekjen. Saya minta tolong, Anda dampingi Yusril'. Karena orangtua sudah ngomong begitu, akhirnya Kaban bersedia.
Jadi Menteri
Walau sudah menjabat Sekretaris Jenderal DPP Partai Bulan Bintang dan kemudian duduk sebagai anggota DPR/MPR hasil Pemilu 1999 dan 2004, Kaban tak pernah bermimpi, apalagi berambisi, menjadi menteri. Walaupun partainya, PBB menjadi salah satu pendukung utama, dari awal, pencalonan pasangan Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Calon Wakil Presiden M Jusuf Kalla, yang kemudian menjadi pemenang.
Menurutnya, hanya nasib baik saja yang mengantarnya jadi menteri. Disebut nasib baik, karena memang dia merasakan demikian. Ceritanya, begini: Pada jam 15.00, tanggal 18 Oktober 2004, dia ditelepon untuk ketemu SBY di Cikeas dalam rangka membantu presiden dan wapres terpilih di kabinet. Namun waktu sampai di Cikeas. Sudi Silalahi, orang kepercayaan SBY, bilang, 'Wah kita sebenarnya mau reschedule pertemuan ini'.
Setelah itu, kaban tidak segera pulang, namun masih duduk dan ngobrol bersama Sudi dengan yang lain. Tiba-tiba saja, SBY keluar, terus salaman dan duduk bergabung. Lalu berdialog. Kaban sendiri terkesan bingung. Dalam hati, dia bertanya: 'Apa wawancaranya begini?' Tapi, dialog dengan SBY itu, rasanya tak menjurus kepada apa yang diinfokan kepadanya sebelumnya. Waktu itu SBY bilang, 'Ya sudah nanti kita ketemu lagi.'
Setelah itu, Kaban mendatangi Sudi Silalahi. Lalu Sudi bilang, 'Sudahlah Pak SBY sudah kenal Kaban.' Setelah itu, Kaban keluar pulang. Ketika wartawan mencegat dan bertanya, dia tidak bisa menjelaskan apa pun yang dibicarakan. Karena memang yang dibicarakan tidak ada yang spesifik mengenai bidang tugas tertentu seorang menteri.
Lalu, malam saat presiden akan mengumumkan susunan kabinetnya, Yusril memintanya untuk menunggu saja di rumah. Kaban pun segera pulang ke kediamannya di Bogor. Tiba-tiba sekitar pukul 21.00 handphone-nya berdering. Setelah diangkat, suara seorang pria memintanya agar segera bertemu Jusuf Kalla di Istana Wapres. Dipesankan agar masuk lewat pintu belakang.
Kaban pun segera bergegas ke Jakarta. namun, dalam hati dia masih merasa penasaran. ''Disuruh ke Istana Wapres ada apa nih,'' gumamnya dalam hati. Dia pun mencoba menelepon Hatta Rajasa dan Aksa Mahmud dalam perjalanan. Keduanya berhasil diajak bicara lewat telepon. namun pembicaraan dengan kedua tokoh itu, justru semakin membuatnya bingung.
Lalu, Kaban pun menelepon Ali Muchtar. ''Pak Ali sebenarnya aku disuruh ke Jakarta mau ngapain dan mau ketemu siapa?'' Ali menjawab: ''Abang harus ke istana. Calon menteri yang lain sudah berada di istana." Akhirnya, mobil pun dikebut hingga kecepatan 140 kilometer per jam.
Begitu sampai di depan istana, ternyata Kaban sudah ditunggu. Kemudian SBY datang menemui beberapa calon menteri. ''Tadinya saya mau ajak ngobrol satu per satu, tapi saya sudah paham. Dalam menentukan keputusan ini saya banyak mendapat bisikan dari kiri-kanan. Tapi saya ambil keputusan berdasarkan pandangan mata hati. Saya ajak, bapak-bapak ikut membantu saya,'' ujar SBY.
Semula dia dapat masukan akan diangkat menjadi menteri sosial. Tapi, setelah diumumkan, dia diangkat jadi Menteri Kehutanan. Dia merasa kaget. "Terus terang nggak kebayang menjadi seorang menteri. Waktu dilantik jadi menteri saja, sampai ada perasaan, 'apa iya aku ini jadi meteri?'
Pada awal menjabat menteri, Kaban mengaku sempat merasa 'kagok banget.' Pasalnya, harus ada ajudan dan protokol. Rasanya ada suatu perubahan suasana yang berbeda dari dunia partai ke parlemen dan dari parlemen ke eksekutif. Dia merasakan adanya suatu lompatan beban.
Karena ketika di parlemen cenderung normatif saja, bahasanya ideal. Sedangkan di dunia eksekutif, yang dihadapi dunia yang sebenarnya, nyata. Problemnya menyangkut perilaku manusia yang berneka ragam dan kepentingan beraneka ragam. Sebagai menteri, risiko pertanggungjawaban publiknya lebih terasa.
Cepat Kuasai Masalah
Kendati dia tak pernah membayangkan akan menjadi menteri, apalagi Menteri Kehutanan, dia tak terlihat kurang memahami bidang tugasnya. bahkan dia terlihat cepat menguasai masalah di bidang kehutanan. sejak hari pertama dia dengan tangkas menjawab berbagai pertanyaan wartawan mengenai apa yang akan dilakukannya segera dalam jabatannya sebagai Menteri Kehutanan.
Sepertinya dia sudah mempersiapkan diri dalam waktu cukup lama untuk mengemban tugas itu. Memang, kalau dari sisi penguasaan masalah, dia merasa tidak ada kesulitan. Karena lima tahun aktif di panitia anggaran di DPR, telah bersentuhan dengan Departemen Kehutanan dalam konteks berapa penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di Komisi III DPR dia juga berhubungan Dephut, termasuk kasus-kasusnya. Dia juga pernah di Komisi IX sub komisi BUMN, yang menyentuh BUMN yang diperiksa BPK, termasuk Perhutani dan Dephut.
Dari segi latar belakang pendidikan, dia juga berhubungan dengan masalah kehutanan. karena tesisnya mengulas masalah 'Taman Nasional Gunung Leuseur'. Maka, ketika duduk sebagai Menteri Kehutanan, rasanya dia seperti masuk kembali pada bab-bab tesisnya ketika meraih gelar master (S2) dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Dia melihat masalah kehutanan yang harus segera dibenahi, selain masalah illegal logging juga masalah degradasi hutan yang sangat cepat sekali terjadi. Degradasi hutan itu sudah sangat mengganggu fungsi hutan sebagai SDA yang lestari, flora yang beraneka ragam pun sudah sangat rusak.
Dia menjelaskan, pada 1970-an, luas hutan kita mencapai 180 juta hektare. Saat ini, sudah hanya 120 juta hektare. Bahkan hutan yang benar-benar masih utuh, mungkin hanya tingal sekitar 57 juta hektare, sebagaimana dikemukakannya kepada Republika, Minggu, 21 Nopember 2004.
Dia pun memalu genderang memerangi illegal logging. Sebab menurut data beberapa LSM yang diterimanya, dalam lima tahun terakhir ini, akibat keganasan perampokan kayu hutan, tak kurang dari 20 juta hektare telah hancur. Begitu pula data dari Dephut, tak kurang dari 2,7 juta hektare per tahun hutan rusak.
Keluarga
Baginya, keluarga adalah segalanya. Namun, secara terus terang, dia mengakui, setelah sibuk di partai dan parlemen apalagi setelah menteri, dia tidak bisa lagi bertemu dengan anak-anak dalam waktu yang cukup seperti sebelumnya.Dia hanya bisa ketemu anak-anak rata-rata satu jam sehari. Hanya ketemu habis subuh sampai jam 06.00 pagi.
Sampai-sampai anaknya pernah bertanya saat dia pulang jam 22.00. 'Eh kok bapak pulang cepat?' Sebab biasanya, dia pulang tengah malam sejak aktif di partai. Tapi, Kaban bersyukur, meski anak-anaknya masih sedang puber, sampai saat ini tidak ada yang menyimpang dari harapannya.
Sumber : tokoh-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar