Ir. M. Hatta Rajasa |
Nama : Ir. M. Hatta Rajasa
Lahir : Palembang, 18 Desember 1953
Agama : Islam
Isteri : Drg. Oktiniwati Ulfa Dariah Rajasa,
Anak:
Reza, Aliya, Azimah dan Rasyid
Pendidikan:
Insinyur Perminyakan Institut Tehknologi Bandung (ITB)
Pengalaman Pekerjaan:
2004-2009 Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu
2001-2004: Menteri Riset dan Teknologi Kabinet Gotong Royong
2000-2005 Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (DPP-PAN)
1999- 2000 Ketua Fraksi Partai Reformasi DPR.
1982- 2000 Presiden Direktur Arthindo
1980 -1983 Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi Perusahaan pengeboran minyak
1977 -1978 Teknisi Lapangan PT. Bina Patra Jaya
Kegiatan Internasional:
September 2002, Presiden ke 46 konferensi IAEA di Vienna, Austria
Juni 2002, Mengikuti lawantan dengan Presiden RI ke Italia, Inggris, Austria, Republik Czech dan Slovakia
Mei 2002, Mengikuti pertemuan G-15 dalam bidang IPTEK, Caracas, Venezuela
April 2002, Menghadiri Pertemuan tahunan Pemimpin Pemerintahan ke 5 dari Microsoft di Seattle, USA
Maret 2002, Mengikuti Lawatan dengan President RI ke India, China, Korea Selatan dan Korea Utara
November 2001, Menghadiri pertemuan ke 2 Forum Dialog dan kerjasama Asia Bidang Nuklir (FNCA), Tokyo
September 2001, Mengikuti Pertemuan ke 6 Negara-negara ASEAN Bidang IPTEK di Brunei Darussalam
September 2000, Anggota delegasi DPR dalam lawatan kerja ke Jerman
September 2000, Ketua Delegasi "Pertemuan Partai Politik di Asia", di Philippina
September 1997, Anggota Delegasi Indonesia dalam pertemuan APEC, Canada.
Alamat Rumah:
Perumahan Executive Golf Kav.26, JI. RS. Fatmawati, Jakarta 12430,
Alamat Kantor:
Jalan Medan Merdeka Barat No.8, Jakarta Pusat
Sosok Politisi Pluralis Relijius
Politisi pluralis relijius, ini sebelum masuk PAN, belum pernah berpolitik praktis. Karena tidak ada kesempatan akibat iklim politik pada zaman orba. Padahal ketika mahasiswa, Padahal ketika mahasiswa, ia seorang aktivis yang menyenangi bidang tersebut. Sehingga ketika reformasi bergulir, ia pun ikut aktif sebagi ketua I Alumni ITB cabang Jakarta. Ketika PAN dideklerasikan 23 Agustus 1998, ia pun ikut bergabung.
Di PAN, pada mulanya ia menjabat Ketua Departemen Sumber Daya Alam dan Enerji. Kemudian, setelah kongres I, ia terpilih menjadi Sekjen. Pada Pemilu 1999, ia pun terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari PAN, dari wilayah pemilihan Bandung. Di lembaga legislatif itu, ia terpilih menjadi ketua Fraksi Reformasi DPR.
Ketika di Senayan itu, ia benar-benar konsentrasi. Itu memang sudah sifatnya. Kiprahnya ketika permulaan masa reformasi tergolong sangat luar biasa. Pada masa transisi dari pemerintahan Habibie ke Gus Dur dan kemudian ke Mega-wati, ia sebagai ketua Fraksi Refor-masi, mampu menerjemahkan dan mengejawantahkan garis partainya yang didisain demikian apik oleh Ketua Umumnya Amien Rais.
Sehingga Hatta bisa berperan banyak dalam kancah perpolitikan nasional, sebagai support atas peran Amien Rais yang berperan sangat besar sebagai ‘king maker’ pentas politik nasional. Tak heran bila pada saat itu, wartawan DPR/MPR memilih Hatta sebagai salah satu dari 10 tokoh DPR terbaik.
Pada Pemilu 1999, ia adalah ketua Pemilu PAN. Ketika kongres PAN di Jokjakarta, ia sibuk menjadi ketua panitia pelaksana. Pada waktu itu, di PAN ada dua kubu yang saling bertarikan. Ia mengambil posisi berada di tengah saja. Ia termasuk orang yang menginginkan keutuhan dan kekokohan partai PAN.
Relijius
Pria relijius (Muhammadiyah) ini ingin PAN tetap berada di tengah, tidak terseret ke kanan atau ke kiri sesuai dengan platformnya, partai plural, lintas agama, dan lintas budaya. Maka, tak heran jika pada waktu itu, saat pemilihan formatur, ia mendapat suara terbanyak. Formatur dalam kongres itu, memilih Amien Rais tetap sebagai ketua umum dan ia menjadi Sekjen.
Sebelum kongres, nama DR. Faisal Basri (Sekjen PAN) dan AM. Fatwa disebut bersaing kuat untuk menduduki posisi Sekjen itu. Tetapi, ketika kongres digelar, muncul enam calon lagi, termasuk Hatta Rajasa.
Pemilihan Sekjen PAN ini berlangsung ketat di Ballroom Hotel Sheraton Mustika dari pukul 16.00-21.30 WIB. Hatta Rajasa berhasil mengungguli tujuh saingannya dengan perolehan 555 suara. Di belakangnya AM. Fatwa 547 suara, Ir. Armin Aziz 424 suara, Prof. DR. M. Askin 386 suara, Faisal Basri 352 suara, Patrialis Akbar 330 suara, AR. Iskandar 288 suara, dan H. Suwardi 285 suara.
Kemenangannya tidak terlepas dari peran yang dimainkannya dalam kongres yang hampir deadlock karena pro-kontra perlunya PAN memasukkan kata iman dan taqwa dalam AD/ART. Beberapa DPW mengancam keluar dari PAN jika asas iman dan taqwa dicantumkan dalam AD/ART. Sebaliknya ancaman juga datang dari DPW lainnya, bila asas itu tidak dimasukkan ke dalam AD/ART.
Dalam situasi dilematis itu, ia melihat kepiawian Amien Rais selaku ketua umum untuk menyelematkan kongres itu dari ancaman deadlock. Hatta juga mengambil posisi memberi dukungan dengan mengambil posisi di tengah. Ketika itu, Amien Rais menggagas sebuah pertemuan (loby) yang juga diikuti Hatta, Sabtu sore 12 Februari 2000. Dari pertemuan itu lahir pemecahan yakni dibentuknya panitia ad-hoc beranggotakan pakar-pakar independen untuk memutuskan perlu tidaknya perubahan asas PAN.
Kebolehan Hatta Rajasa melakukan loby (sesuai garis partai) tidak hanya terbatas dalam internal partai. Secara eksternal, ia pun mampu melakukan loby dan kerjasama dengan partai-partai lain. Bahkan ketika itu, ia yang menggagas pertemuan antara sekjen-sekjen partai politik, untuk mempersiapkan pembahasan materi rancangan undang-undang. Pada pertemuan-pertemuan itu banyak permasalahan yang dapat diselesaikan.
Namun yang namanya partai poltik, secara intern ada saja gejolak dengan berbagai permasalahannya. Contohnya, ketika diadakannya konggres PAN di Bali, ada usaha-usaha untuk melengserkannya. Karena mungkin ia dinilai terlalu moderat, di tengah dan penganut pluralisme relijius, serta berbagai macam alasan lainnya. Tetapi banyak pengurus PAN dari daerah tetap mendukungnya dengan kuat. Sehingga ia tetap sebagai Sekjen. Dan, ia sendiri memandang itu sebagai sebuah dinamika partai yang lumrah terjadi.
Apalagi dari situ, ia melihat bahwa PAN justeru besar dengan mengukuhkan dan mengartikulasi-kan diri sebagai partai terbuka yang relijius (berasas Pancasila) yang berbasis utama Islam (Muhammadiyah) dan sekaligus mempertahankan pluralisme, lintas agama, lintas suku dan lintas golongan. Sebagai perpanjangan tangan dan pengejawantahan cita-cita luhur Muhammadiyah di kancah politik praktis.
Pada kongres sebelumnya, ketika ia terpilih menjadi Sekjen, ia yang mengusulkan nonmuslim, Bara Hasibuan, menjadi fungsionaris partai, yakni Wakil Sekretaris Jenderal DPP. Maka ketika Bara Hasibuan bersama 15 fungsionaris PAN lainnya, kemudian mengundur-kan diri tanpa sepengetahuannya, ia sangat kecewa.
Dalam partai, ia juga melihat prinsip “The right man on the right place” mutlak juga diperhatikan. Sehingga kadang-kadang orang memandangnya seperti berseberangan dengan kelompok yang lain. Sementara, ia sendiri menganggapnya biasa-biasa saja. Sebab ia bekerja sesuai dengan asas partai yaitu sebagai partai plural yang berbasis utama Islam (Muhammadiyah). Sebuah partai yang dia yakini mampu mengakomodir dan menyuarakan aspirasi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, namun plural, bhinneka tunggal ika, dari Sabang sampai Merauke.
Piawai dalam Komunikasi Politik
Pada permulaan reformasi, sebagai masa transisi, anggota-anggota dewan terpilih dengan sistem Pemilu yang baru. Mereka lebih independen dan tidak dapat di-recall oleh partainya sendiri. Pada kondisi itu, saat menjadi anggota DPR, ia merasa teruji untuk mengartikulasikan hak individunya sebagai wakil rakyat tidak tergantung dengan fraksi dan partainya semata.
Ia mampu menempatkan diri dan menjaga keseimbangan, secara individu sebagai wakil konstituen sekaligus sebagai anggota fraksi. Ia sangat memahami bahwa fraksi adalah perpanjangan tangan dari partai politik, maka harus melakukan komunikasi yang intens untuk membawa suara partainya. Akan tetapi, pada saat bersamaan, ia juga tidak kehilangan jati diri sebagai seorang anggota dewan, yang harus bertanggungjawab secara individu kepada konstituen yang memilihnya.
Di masa transisi itu, bahkan sampai saat ini, ia sangat yakin, bahwa tidak mungkin sebuah partai dapat menyelesaikan persoalan bangsa ini sendirian. Oleh karena itu semuanya harus diselesaikan dengan loby dan musyawarah lintas fraksi. Sebagai anggota dewan dan Ketua Fraksi Reformasi ketika itu, ia banyak berdiskusi dan menyerap prinsip dan langkah politik Amien Rais selaku Ketua Umum PAN. Maka ia pun aktif menggalang komunikasi politik lintas partai. Antara lain, ketika itu, ia aktif mendirikan panitia enam partai yang membicarakan tata-tertib dan kemungkinan-kemungkinan deadlock-nya sidang umum MPR.
Pada waktu itu terdapat dua arus kekuatan yang bergejolak luar biasa, antara kekuatan BJ Habibie dan Megawati Sukarnoputri. Lalu, Amien Rais membawa ‘bendera’ poros tengah. Dalam konstalasi politik demikian panas ketika itu, Hatta pun aktif melakukan berbagai loby. Ketika itu, Gus Dur yang terpilih.
Kemudian dalam proses peralihan kepemimpinan dari Gus Dur ke Megawati Sukarnoputri, ia juga lebih menunjukkan kemampuan politiknya mendampingi Amien Rais dalam menelorkan solusi-solusi terbaik pada saat yang tepat.
Pemerintahan Gus Dur saat itu sangat labil, terjadi inkonsistensi, kabinet yang dibentuk dalam beberapa bulan kemudian dicopot. Setiap hari Jumat muncul pernyataan-pernyataan yang kontroversial yang mengakibatkan suasana politik memanas.
Apalagi ketika itu muncul kasus buloggate. Akhirnya, keluar memorandum satu, dua dan tiga kepada presiden. Upaya ini didukung oleh berbagai fraksi melalui lobi-lobi lintas partai. Waktu itu ia dan fungsionaris lintas partai mengadakan pertemuan, hampir setiap hari di rumah Arifin Panigoro. Terakhir ketua-ketua fraksi bertemu di Hotel Indonesia menyatakan sikap bersama. Ketua Fraksi TNI/POLRI pun saat itu ikut bergabung.
Sikap bersama itu dapat terjadi, karena memang saat itu telah terjadi instabilitas politik dalam pemerin-tahan, seperti, ketika presiden meng-ijinkan bendera Papua dikibarkan. Jika itu dibiarkan, mungkin Irian Jaya sudah lepas dari Indonesia.
Namun semua yang terjadi dalam dunia politik tidak pernah dilibatkan dalam kehidupan pribadi atau menjadi sebuah sentimen pribadi. Ia pun bukan tipe politisi yang suka berteriak dengan pendapat-pendapat yang kedengarannya menghentakkan, tapi tanpa solusi.
Baginya dalam berpolitik ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yakni (1) sikap konsisten yang disertai (2) tingkat moralitas yang tinggi dan menjaga etika. Boleh berbeda pendapat tapi jangan menghujat. Ia memang termasuk tipe orang yang tidak suka menghujat. Jika ada perbedaan pendapat, ia dengan santun dan terbuka menyampaikan bahwa ia mempunyai pendapat yang berbeda. Tapi jika pendapat orang lain memang lebih benar, ia pun akan mengikuti pendapat itu. Sebaliknya, jika pendapatnya yang benar, yang lain juga seharusnya mengakui. Tanpa perlu saling menghujat.
Jadi, menurutnya, persoalan politik dapat diselesaikan dengan baik-baik tanpa harus menyakiti perasaan orang. Tetapi jika dalam berpolitik sudah ada bibit-bibit suka dan tidak suka, maka persoalan apapun tidak dapat diselesaikan. Ia berpandangan persoalan dapat diselesaikan dengan nyaman, aman dan elegan, jika ada sikap saling menghargai.
Etika berpolitik elegan seperti ini dengan baik dipraktekkannya. Pada masa pemerintahan Gus Dur, ia benar-benar mengritik pemerintahan Gus Dur dengan tajam. Namun tidak pernah ia menghujat. Gus Dur tetap ia hormati baik sebagai pribadi maupun sebagai presiden yang sah. Pendirian ini, di berbagai forum dan kesempatan selalu ia kedepankan.
Dukungan Keluarga
Perjalanan karirnya pastilah juga dipengaruhi oleh dukungan keluarga, terutama isteri dan anak-anaknya. Terutama saat ia memilih menjadi politisi, dimana seorang pengusaha dan CEO meninggalkan bisnis dan fokus sebagai politisi, sebuah keputusan yang tidak mudah bagi seorang yang sudah mempunyai keluarga dengan kehidupan yang mapan.
Ketika itu, tahun 1999, anak-anaknya masih kecil. Putra terbesarnya saat itu baru tamat SMP mau ke SMA. Ketika mengambil keputusan itu, ia memang berdialog panjang dengan keluarga, dengan istri terutama. Suatu hal yang tidak mudah baginya karena memilih memasuki dunia yang lain sama sekali. Ia mengaku tidak gampang meyakinkan keluarganya. Ia menegaskan, sekali ia berpolitik maka ia tidak akan menyentuh bisnis, harus dilepaskan semua. Ia pun harus berpikir mempersiapkan dari hasil-hasil usahanya itu buat keluarga dan buat berpolitik.
Suatu keputusan tentang kehidupan yang betul-betul berbeda. Dari sebuah kehidupan yang rada teratur, saat magrib bisa sembahyang bareng dengan anak-anaknya, menjadi sebuah kehidupan yang bisa disebut tidak teratur sama sekali.
“Mereka sempat shock. Kan waktunya sangat pendek. Tahun 1998 PAN didirikan, tahun 1999 saya sudah menjadi anggota DPR, tahun 1999 saya di Senayan dan nyaris tidak pulang-pulang. Saya tidur di hotel dan jarang sekali ketemu dengan anak-anak, selama berapa bulan itu. Mereka bertanya-tanya, ‘kenapa kehidupan ini menjadi begini’. Dia tidak pernah ketemu bapaknya tapi lihat bapaknya di TV terus,” kenangnya.
Lalu ia pun menceritakan pelan-pelan kepada anak-anaknya bahwa inilah kehidupan. Ia jelaskan bahwa “dimanapun kita berada, papa sebagai pengusaha, papa sebagai pengajar, papa sekarang mau jadi politisi, semua itu adalah bagian dari ibadah.” Keluarganya pun memahami dan menerima.
Sementara gaya hidup keluarganya tampak biasa-biasa saja saat ia kemudian diangkat menjadi menteri. Istrinya tetap nyetir sendiri, dan sangat marah kalau ke daerah harus dikawal, harus ada ajudan.
“I never change my style of life. Saya tidak suka, misalnya tiba-tiba menjadi harus sangat formal, never change soal-soal seperti itu,” ujarnya. Anak-anaknya juga begitu, mereka biasa saja, dan mereka protes serta tidak mau tinggal di rumah menteri, dan memilih tetap tinggal di rumah pribadinya.
Jadi tidak ada sesuatu yang berubah. Hanya kadang-kadang, seperti anaknya yang paling kecil bertanya: ‘Pak, orang bilang pejabat negara itu sama dengan korupsi?’ Menjawab pertanyaan anak kecil yang kritis ini, ia mengaku tidak gampang menjelaskan sampai si kecil memahaminya.
Keluarganya memang harus memahami tugas panggilannya. Sebab bagi dia, hari Sabtu hari Minggu hari keluarga, tidak ada. Baginya semua hari-hari keluarga, semua hari-hari kerja, semua hari ya hari. Semua hari untuk bekerja, untuk beribadah. Sehingga frekuensi untuk ketemu anak-anak jauh berkurang.
Namun, pada Sabtu-Minggu kalau berada di Jakarta ia berupaya melepas kebebasan diri. Ia nyetir sendiri. Sabtu-Minggu supir pulang. Tidak ada ajudan. Ia malah menjadi happy.
Internalisasi Demokrasi
Menurutnya, di Indonesia banyak persoalan besar yang sebenarnya sudah dapat diselesaikan tanpa mengakibatkan konflik. Satu di antaranya proses demokratisasi yang luar biasa. Kebebasan berbicara, berserikat dan mendirikan partai sudah terselesaikan. Sementara di banyak negara lain persoalan ini belum selesai.
Namun, menurutnya, hal ini harus dibarengi dengan pemahaman-pemahaman oleh partai politik dengan melakukan internalisasi demokrasi melalui tiga hal. Yaitu, pertama, secepat mungkin menyu-sun sebuah proses rekruitmen yang sehat. Karena jika partai politik tidak dapat melakukan tugas ini dengan benar maka yang merasakan kerugian tersebut adalah bangsa ini.
Misalnya jika kita perhatikan wakil rakyat yang ada di kota kabupaten dan daerah tingkat I, yang mulai dikritik oleh masyarakat, ini adalah tanda bahwa partai politik belum dapat melaksanakan rekruitmen yang sehat. Jadi hal ini harus cepat diselesaikan. Tidak ada pilihan lain, karena partai politik adalah ujung tombak demokrasi, yang akan membangun pemerintah-an dan suprastruktur di republik ini. Jika hal ini tidak dilaksanakan, tujuan kita untuk mencapai demo-krasi modern yang menghasilkan good government atau pemerintahan yang sehat akan terhambat.
Kedua adalah bagaimana di antara partai politik menciptakan suasana berkompetisi yang tidak menimbulkan konflik, yang tentu diatur melalui undang-undang dan peraturan partai politik.
Ketiga adalah bagaimana partai-partai politik menyelesaikan persolan-persoalan mengenai transparansi keuangannya, serta adanya peraturan yang mengatur bagaimana partai-partai politik dapat ikut dalam Pemilu.
Ia sendiri adalah orang yang mendukung dibentuknya aturan yang jelas agar setiap orang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya dalam membentuk partai politik tanpa dipersulit. Sebab hal itu adalah hak dasar. Jika seseorang kehilangan haknya, ia juga kehilang-an kemanusiaannya. Ia dikatakan manusia karena memiliki kebebasan. Jadi jika ia kehilangan hak dalam berkumpul dan berserikat, hilang jugalah kemanusiannya.
Tapi harus ada aturan yang jelas. Aturan itu harus disepakati bersama dan tidak dapat diubah-ubah. Sebab jika mudah berubah, malah akan menjadi sangat rawan bagi terjadi-nya konflik. Sebagai pembanding bisa lihat di luar negeri yang aturannya jelas. Sehingga partai politiknya sehat, dan berpengaruh pada keadaan bangsa tersebut.
Ia sangat sedih jika banyak tokoh-tokoh non-partai, yang sebenarnya dapat menjadi tokoh partai, berada di luar partai lalu hanya dapat mengkritisi dan menutup diri. Sehingga seakan-akan hanya dirinya saja yang dapat mewakili rakyat.
Padahal semua tahu, partai politik adalah ujung tombak demokrasi. Jadi membangun demokrasi harus dengan cara memperkuat partai politik dengan dukungan ke arah yang lebih baik. Atau mendirikan partai politik. Walaupun di sisi lain kita juga harus mempuyai masyarakat sipil yang kuat untuk mengarahkan gerak partai politik.
Korupsi & Kemiskinan
Pengagum Bung Karno dan Amien Rais ini melihat ada tiga masalah yang dihadapi bangsa ini dalam beberapa tahun terakhir, yakni kemiskinan, terancamnya kerukunan dan ganasnya korupsi. (Ia memajang foto Bung Karno bersalaman dengan Kanselir Jerman Conrad Adenaeur (1953). Ketika itulah orang-orang Indonesia dikirim ke Jerman yang kemudian menjadi scientist-scientist kita di sini. Jadi, ia bangga dengan shakehand-nya Bung Karno dengan Kanselir Jerman ini. Conrad Adenaeur adalah bapak pembangunan ekonomi yang membangun kembali Jerman, paska perang dunia kedua.)
Tiga persoalan besar yang menjadi perhatiannya itu: Pertama, mening-katnya secara tajam kemiskinan di Indonesia dari 22,5 juta atau sekitar 11,3% dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun 1996 membengkak jadi 49,5 juta orang atau sekitar 24,2% dari jumlah penduduk pada tahun 1998. Kemiskinan ini, sebagai akibat kemiskinan struktural maupun kemiskinan karena gelombang resesi.
Standar untuk menentukan garis kemiskinan pada 1996 adalah pendapatan per kapita sebesar Rp 38.246 per bulan untuk perkotaan dan Rp 27.413 untuk pedesaan.
Lalu, tahun 1999 jumlah penduduk miskin itu sedikit berkurang menjadi 48,4 juta orang. Standar yang digunakan secara nominal, yaitu Rp 92.409 untuk perkotaan dan Rp 74.272 untuk pedesaan. Lalu tahun 2002 berkurang lagi menjadi sekitar 37,5 juta orang. UU Program Pembangunan Nasional (Propenas), mengama-natkan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan pada 2004 tidak boleh lebih dari 30 juta orang atau sekitar 14% dari jumlah penduduk.
Namun, pemerintah memperkirakan penurunan rasio angka kemiskinan yang ditargetkan dalam Propenas itu tidak akan tercapai. Maksimal upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah menekan rasio angka kemiskinan tersebut antara 16 sampai 17 persen.
Kemiskinan ini telah mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang kesehatan. Nutrisinya sangat rendah, tentu akan menghasilkan generasi lemah. Berakibat kepada sumber daya manusia yang tidak tangguh pada generasi berikutnya. Ini sungguh memprihatinkan. Maka, ia sangat serius tentang hal ini.
Kedua, menurunnya semangat toleransi dan terlalu mengedepan-kan sikap-sikap keakuan. Apakah itu keakuan dalam konteks hukum, konteks agama, atau dalam konteks kelompok. Semangat kebersamaan jauh menurun, yang berakibat terdesaknya kelompok masyarakat miskin yang tidak berdaya.
Ketiga, hal yang paling klasik, yakni masih ganasnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga, kita membutuhkan sebuah resep. Resep yang mampu membangkitkan kembali (revitalisasi) semangat kebersamaan dan nasionalime bangsa ini.
Ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. “Tetapi jika Tuhan memberikan kesempatan untuk meminta apa saja dan pasti dikabulkan-Nya, saya pasti tidak akan meminta supaya saya berkuasa, tetapi saya akan meminta agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, terbebas dari kemiskinan dan kebodohan. Itu yang pasti saya minta. Hanya satu itu saja,” kata Menristek ini dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, di ruang kerjanya.
Sumber : tokoh-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar