Ir. Bejo Rudiantoro, MM |
Nama : Ir. Bejo Rudiantoro, MM
Lahir : Purworejo, 6 Juli 1966
Agama : Islam
Istri : Drg. Tjatur Indah Umara
Anak:
1. Sekar W. Wiridiana (13 tahun)
2. Anantama Kurnia Buana (10 tahun)
3. Aulia Sena Adipraja (5 tahun)
4. Tatya Anindya Ruci (3 tahun)
Pendidikan:
1. S1 Menejemen Kehutanan Universitas Gajah Mada Yogyakarta 1990
2. S2 Magister Management STIE - IPWI Jakarta 1997
Aktivitas:
1992-Sekarang, Dirut PT. Juang Jaya Nusantara (Konsultan Management)
2003-Sekarang, Direktur PT. Alamjaya Makmur Sejahtera (Oil & Gas Services, IT)
2004-Sekarang, Dirut PT. Surya Langgeng Sejahtera (Perkebunan)
Organisasi:
2000-Sekarang, Pimpinan Yayasan Pelita Bangsa
2003-2005, Anggota Pokja Hukum, HAM, dan Lingkungan Hidup DPP Partai Golkar
2005-Sekarang, Wakil Sekjend DPP Ormas MKGR
2005-Sekarang, Sekjend (Plt) DPP GEMA Ormas MKGR
2005-Sekarang, Wakil Ketua Badan Informasi & Komunikasi (BIK) DPP Partai Golkar
2006-Sekarang, Anggota Dewan Pakar ICMI Bidang Pengembangan Prasarana Wilayah
Gamang Disebut Politisi
Menyandang predikat politisi, secara umum membuat banyak kader partai bangga. Namun bagi Bejo Rudiantoro, Wakil Ketua Pengurus Pusat (PP) Badan Informasi dan Komunikasi Partai Golkar, justru merasa gamang dan gundah disebut politisi. Itu dikarenakan imej politisi yang berkiprah di panggung perpolitikan nasional saat ini terkesan hanya bekerja untuk kepentingan pribadi, golongan, kelompok dan kepentingan-kepentingan jangka pendek.
Memang tidak semua politisi seperti itu, namun secara umum penilaian, penglihatan, dan hasil evaluasi masyarakat mempersepsikan demikian, karena perilaku seperti itu dalam kenyataannya mewarnai kinerja para politikus Indonesia. “Perilaku inilah yang kemudian mengintrodusir stigma politik sebagai sesuatu yang kotor dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan,” kata pria kelahiran Purworejo ini.
Menurut saya, tambah lelaki kelahiran 6 Juli 1966 ini, hakikat politik bukanlah sesuatu yang kotor, tetapi luhur karena mempunyai peran dalam mengelola bangsa dan negara untuk mencapai cita-citanya, yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. “Cuma, politik menjadi kotor karena perilaku orang-orang yang bekerja dan bergelut di dunia politik, yang banyak diantaranya hanya berjuang untuk kepentingan diri dan kelompoknya,” tandasnya.
Berangkat dari Keprihatinan
Bejo Rudiantoro, pria berusia 40 tahun ini memasuki dunia politik setelah berhasil mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang konsultan perminyakan, perkebunan, dan teknologi informasi. Ini berbeda dengan teman-temannya yang menjadi pengusaha setelah memasuki dunia politik.
Ada yang sangat mengganjal dalam hatinya sejak masih duduk di bangku kuliah, di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), yakni perilaku berbagai kalangan dalam mengelola sumber daya alam di Indonesia, termasuk diantaranya pengelolaan kehutanan dan sumber daya lainnya.
Oleh karena itu, selepas dari bangku kuliah, Direktur PT. Alam Makmur Sejahtera ini mencoba berjuang dengan teman-temannya melalui pendirian sebuah Lembaga Kajian Pembangunan Kehutanan dan Lingkungan. Mereka membuat studi-studi tentang pengelolaan hutan yang kemudian menghasilkan rekomendási-rekomendasi untuk dikirim ke berbagai pihak, termasuk diantaranya Menteri Kehutanan. Namun upaya itu tidak membuahkan hasil yang maksimal. Ini membuat direktur beberapa perusahaan ini berpikir untuk mencari wadah perjuangan yang baru.
Niat perjuangan ini semakin diperkuat dengan situasi ekonomi sosial masyarakat Indonesia yang tidak karu-karuan setelah memasuki era reformasi. “Saya harus berbuat sesuatu untuk republik ini,” tuturnya seraya menyatakan kesadarannya bahwa bila itu dilakukannya sendirian, akan sangat berat dan tidak ada gaungnya. “Katakanlah saya mengkritik kebobrokan republik ini tetapi hanya sekadar di meja makan, tidak akan pernah ada artinya,” kata suami Drg. Tjatur Indah Umara ini.
Menjawab pertanyaan, mengapa memilih partai politik sebagai wadah perjuangan, pria yang memulai karir polititik di Pokja Hukum, HAM, dan Lingkungan Hidup DPP Partai Golkar ini, menyatakan karena partai politik adalah wadah konstitusional dan memiliki garis perjuangan yang kongkrit. Dengan posisi garis perjuangan seperti itu membuat setiap orang merasa nyaman dan tidak ragu-ragu berorganisasi dalam partai. Dengan garis perjuangan itu pula, setiap kader akan mengetahui apa yang akan dilakukan dan apa yang akan dikerjakan.
Golkar Pilihan Terakhir
Setelah memikirkan dan menghitung-hitung berbagai wadah perjuangan yang akan digunakannya, akhirnya ia memilih partai politik dan ormas. ”Kita harus menyalurkan kritik-kritik itu secara kontitusional serta konstruktif, dan itu bisa kita lakukan di partai politik,” kata ayah Sekar W. Wiridiana (13 tahun), Anantama Kurnia Buana (10 tahun), Aulia Sena Adipraja (5 tahun), dan Tatya Anindya Ruci (3 tahun) ini.
Namun setelah memilih partai politik dan ormas sebagai wadah perjuangan, perenungannya tidaklah berarti sudah selesai. Permasalahan yang muncul kemudian, partai politik mana yang harus dipilihnya. Ini sedikit membingungkan bagi Bejo Rudiantoro di tengah-tengah banyaknya partai politik pasca reformasi di Indonesia.
Jika bertitik tolak dari garis politik keluarga, peraih gelar insiniur tahun 1990 ini, seharusnya langsung memilih Partai Golkar. Karena, sang ayah merupakan kader tulen Golkar dan pendiri Sekretariat Bersama Golkar Purworejo, bahkan pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Purworejo. “Namun ayah saya memberi kebebasan bagi setiap anak-anaknya untuk memilih garis politik yang diinginkan masing-masing. Jadi saya tetap dituntut untuk memilih yang terbaik bagi saya,” katanya sembari menyatakan bahwa diam-diam ayahnya tetap berharap Rudiantoro memilih Partai Golkar.
Setelah mempelajari dan membandingkan satu persatu partai politik yang sempat dinominasikannya, ia menyimpulkan bahwa ia harus memilih partai politik yang tidak membeda-bedakan kadernya. “Saya melihat, kalau bukan ‘darah biru’ di Nahdatul Ulama, kemungkinan besar tidak akan dapat menjadi tokoh sentral di PKB. Demikian juga dengan PAN, kalau bukan anggota Muhammadiyah sangat sulit menjadi tokoh utama PAN. Kalau bukan aktivis-aktivis di Masjid, sangat sulit menjadi pimpinan di Partai Keadilan Sejahterah (PKS),” tutur Direktur Utama PT. Juang Jaya Nusantara ini.
“Sebelum memilih Partai Golkar, saya sempat bersinggungan lebih dahulu dengan partai-partai lain. Dalam arti, berkomunikasi dengan kader-kader mereka, baik kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan termasuk Partai Golkar,” katanya dengan mengakui bahwa garis perjuangan dan platform Partai Golkar sejalan dengan garis perjuangannya.
Partai Golkar merupakan partai nasionalis yang memungkinkan semua komponen-komponen anak bangsa bisa berkompetisi dengan sehat, berkarya dan berkarir di situ. “Saya tidak melihat ada iklim seperti ini di partai-partai lain,” tandas peraih Magister Management tahun 1997 tersebut.
Perpolitikan Nasional dan Kader Partai
Menyikapi sikap skeptis masyarakat terhadap politik dan orang-orang yang bekerja di dalamnya, Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Kemasyarakatan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (DPP Ormas MKGR) ini menyatakan, stigma itu akan terus melekat sepanjang perilaku para politisi berjuang untuk kepentingannya sendiri. Itu jugalah yang mempengaruhi buruknya iklim perpolitikan nasional.
“Untuk mengubah stigma yang menganggap politik sebagai sesuatu yang kotor, maka perilaku para politisi yang mendahulukan kepentingan pribadi, golongan, dan kelompok harus berubah,” tutur Direktur PT. Alamjaya Makmur Sejahtera yang bergerak di bidang Oil & Gas Services dan Information Technologi ini.
Dalam melakoni peran, para politisi seharusnya mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan kelompok. Kepentingan bangsa dan negara seharusnya menjadi garis perjuangan bagi semua partai politik dan kader-kadernya. Oleh karena itu, setiap kader partai politik harus berani mengkritisi partainya jika menempuh garis kebijakan yang berbeda dari platform kepentingan bangsa dan negara.
“Sebagai contoh, saya memang anggota Partai Golkar, tetapi partai saya yang sesungguhnya adalah partai Indonesia. Golkar bagi saya bukan tujuan tetapi merupakan kendaraan untuk meraih tujuan-tujuan bersama, yang tidak terlepas dari kepentingan bangsa dan negara,” tutur Sekretaris Jenderal (Plt) Dewan Pimpinan Generasi Muda Organisasi Kemasyarakatan Musyawarah Gotong Royong (DPP GEMA Ormas MKGR) ini.
Stigma politik yang kotor, menurut Direktur Utama PT. Surya Langgeng Sejahtera yang bergerak di sektor perkebunan ini, berkaitan erat dengan kualitas sumber daya kader partai politik. ”Jadi permasalahan pokoknya adalah bagaimana sebaiknya partai politik membangun kader-kadernya,” tuturnya.
Lebih jauh Anggota Dewan pakar ICMI Bidang Pengembangan Prasarana Wilayah ini menjelaskan, ujung tombak dan kader-kader partai politik akan menjadi penentu citra partai menjadi baik atau buruk. Partai Politik akan mendapat penilaian yang baik dari masyarakat bila kader-kadernya berperilaku baik. ”Ini menjadi tanggung jawab yang besar bagi partai politik dalam membangun sistem dan mekanisme rekruitmen kader yang sehat, sehingga mampu mendorong kinerja perpolitikan nasional yang lebih baik,” tandasnya.
Penggagas Nasonalisme Baru Indonesia
Sepintas, tidak terlihat ada perbedaan Bejo Rudiantoro dengan teman seprofesinya, sebagai seorang eksekutif. Namun setelah berbincang dengan pria yang selalu tampil bersih ini, akan segera terlihat perbedaan dirinya dengan eksekutif-eksekutif lainnya. Bagaimana tidak, pria bertubuh langsing ini ternyata tidak hanya memikirkan bagaimana mengembangkan usaha yang dipimpinnya agar menjadi perusahaan besar hingga konglomerasi.
Akan tetapi pria kelahiran Purworejo Jawa Tengah ini, juga memikirkan perjuangan untuk membesarkan bangsa dan Negara Indonesia yang sangat dicintainya. Sosok ini tentu menjadi sangat berbeda dengan kebanyakan kalangan eksekutif lainnya yang hanya memikirkan profit, hingga tidak sempat memikirkan hal-hal lain di luar bisnis, terlebih urusan bangsa dan Negara.
Wartawan majalah Berita Indonesia yang pernah bertemu dalam satu acara dengan lelaki berusia 42 tahun ini, meminta penulisan profilnya dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional 2006 yang jatuh pada tanggal 20 Mei. Majalah Berita Indonesia ingin mengetahui dan mendiskusikan pikiran-pikirannya tentang masa depan bangsa dan Negara Indonesia.
Degradasi Nasionalisme
Saat ditemui di ruang kerjanya yang asri di Menara Kebon Sirih, Jakarta, pria lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) ini langsung menyatakan keresahanya terhadap masa depan Indonesia yang saat ini tengah menghadapi krisis nasionalisme. Pemikiran inilah yang membedakan Bejo Rudiantoro dengan pelaku bisnis lainnya. Ditengah-tengah kesibukannya memimpin beberapa perusahaan, pria yang masih tergolong muda ini, ternyata masih mensisakan waktunya untuk memikirkan kelangsungan hidup bangsa dan Negara yang dicintainya.
“Krisis nasionalisme yang tengah mencengkram masyarakat Indonesia saat ini merupakan tantangan besar, yang bila gagal dihadapi, akan berakibat sangat buruk bagi eksistensi bangsa Indonesia sebagai salah satu negara di tengah-tengah pergaulan dunia internasional,” ungkap Direktur PT. Alamjaya Makmur Sejahtera ini, seraya menolak pembenaran atas degradasi nasionalisme sebagai hal yang wajar dalam era globalisasi dewasa ini.
“Era globalisasi tidak seharusnya menjadi alat pembenaran bagi degradasi nasionalisme. Bahkan harus sebaliknya, globalisasi yang berpotensi membonceng kepentingan berbagai kalangan, khususnya kalangan multinational corporate (MNC), harus semakin diwaspadai dengan memperkuat nasionalisme,” tutur pria peraih gelar Magister Managemen pada tahun 1997 ini.
Bagi suami drg. Tjatur Indah Umara ini, bagaimanapun magnitut yang dibangun dalam globalisasi, tetap harus diwaspadai. “Globalisasi ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi membawa tantangan, walaupun pada sisi yang lain membawa berkah,” jelas direktur PT. Juang Jaya Nusantara ini.
Kita, tambah laki-laki yang juga memimpin PT. Surya Langgeng Sejahtera, seperti terlena dengan berkah globalisasi dan tidak menyadari tantangan besar yang dibonceng globalisasi itu. ”jika kita tidak memiliki nasionalisme yang kokoh melakoni globalisasi ini, berarti kita tengah berada dalam ancaman neo kolonialisme atau penjajahan dalam bentuk yang berbeda dengan penjajahan di abad ke-19 atau kita memang sudah berada di dalam cengkaram neo kolonialisme itu tanpa kita sadari,” tutur lelaki yang bergelut di ormas kepemudaan ini.
Peran Generasi Muda
Sebagai jiwa, tutur pria yang akrab disapa dengan panggilan “Pak Rudi” ini, spirit nasionalisme berperan menjadi sumber daya energi untuk menggerakkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, paham nasionalisme seharusnya tetap kuat mengiringi perjalanan sebuah Negara, kapan dan dalam kondisi apapun. “Apa jadinya sebuah Negara tanpa nasionalisme? Itu sama halnya dengan sebuah tubuh tanpa jiwa, yang pada akhirnya akan mati” katanya.
Saat ditanya, parameter apa yang digunakan untuk mengukur kuat lemahnya nasionalisme sebuah bangsa atau sebuah masyarakat, Sekretaris Jenderal DPP Gerakan Muda Organisasi Kemasyarakatan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (GEMA-Ormas MKGR) ini mengukurnya dari penempatan kepentingan bangsa dan negara oleh warganya.
Kalau kepentingan bangsa dan negara ditempatkan di atas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, maka nasionalisme di negara itu adalah kuat. Sebaliknya, bila kepentingan pribadi, kelompok atau golongan didahulukan dari kepentingan bangsa dan negara, maka nasionalisme bangsa itu sudah hancur.
“Kita sendirilah yang menelisik, di mana kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok atau golongan, serta kepentingan bangsa dan negara kita tempatkan. Lalu, kita sendiri akan dapat menjawab sekuat atau selemah apa nasionalisme kita,” tutur Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini
Lelaki yang menjadi ayah empat anak, dua putra Anantama Buana Putra dan Aulia Sena Adipraja, serta dua putri Sekar W. Wiridiana dan Tatya Anindya ini mencontohkan perilaku KKN, perebutan kekuasaan, konflik, kekerasan, dan persoalan-persoalan yang kerab mengganggu ketenangan masyarakat juga dapat menjadi titik tolak dalam mengukur tingkat nasionalisme.
Wakil Sekjen DPP Ormas MKGR ini memandang lemahnya semangat nasionalisme masyarakat Indonesia, merupakan ancaman yang sangat serius. Oleh karena itu momentum Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2006 ini, harus dimanfaatkan untuk mengevaluasi sejauh mana nasionalisme itu meredup dalam setiap jiwa masyarakat Indonesia.
Ironisnya, tambah Bejo Rudiantoro di kalangan generasi muda, semangat nasionalisme itu justru semakin menipis. “Apa jadinya Negara ini pada dua atau tiga dasawarsa mendatang, jika generasi muda bangsa ini tidak mempunyai nasionalisme yang kokoh. Kehancuran bangsa-bangsa di berbagai Negara, terjadi karena genarasi muda tidak mempedulikan tantangan yang dihadapi bangsanya sendiri. Maka, ketika ketiadaan nasionalisme itu memuncak, kehancuran bangsa itu menjadi Negara-negara kecil, tidak bisa dihindarkan lagi.
Kehancuran negara-negara yang terjadi di berbagai belahan dunia, sesungguhnya dapat dihindari jika generasi muda bangsa itu menyadari kehancuran negaranya tengah berproses. Jika mereka segera mengambil sikap dan mengobarkan kembali semangat nasionalisme, maka kehancuran bangsa itu akan dapat dipulihkan. Sebaliknya, kehancuran bangsa itu semakin lama semakin dalam bila generasi mudanya tidak peduli terhadap kenyataan bangsanya yang tengah berproses menuju kehancuran.
Nasionalisme Pengelola Negara
Proses kehancuran bangsa Indonesia terjadi ditengah-tengah keterpurukan moral dalam mengelola Negara. Selama puluhan tahun kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ditengarai perilaku pemerintah dan pengusaha yang kolutif, koruptif, dan nepotistik (KKN). Ini membuat masyarakat kehilangan kepercayaan (trust) terhadap pemerintah dan kalangan dunia usaha.
Idealisme kehidupan berbangsa dan bernegara, yang seharusnya mensejahterakan rakyat justru menyengsarakan di bawah hegemoni kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sebagian anggota masyarakat tak lagi mempercayai negara sebagai wadah untuk mensejahterakan diri, karena dalam kenyataannya masyarakat terjebak dalam kemiskinan, ketiadaan lapangan kerja, dan biaya hidup yang setiap saat semakin tinggi.
“Ini merupakan embrio pertama kehancuran bangsa. Fenomena ini terus berproses dan semakin dalam di tengah-tengah kemunculan globalisasi sebagai peradaban baru dunia. Banyak warga Negara yang kemudian mengubah oriontasi kehidupannya dari nasionalisme menjadi internasionalisme atau globalisme,” tuturnya.
Ironisme kehidupan di banyak warga Negara terlihat jelas dari perspektif yang memandang globalisasi sebagai peradaban yang mampu memberi kesejahteraan. Perspektif ini mengakibatkan konsekuensi perubahan dalam memandang hubungan antara warga Negara dengan Negara itu sendiri. Jika sebelumnya sumber kesejahteraan berasal dari perikatan antara warga dengan Negara, maka sesudah terbentuknya globalisasi, sumber kesejahteraan tidak lagi dimonopoli Negara melainkan juga sudah dapat diperoleh dari globalisasi itu sendiri.
Dalam kondisi demikian, tutur Bejo Rudiantoro, hubungan antara seseorang dengan negaranya semakin renggang pada satu pihak, dan di pihak lain merapat dengan internasionalisme. Pada saat seperti ini kebanggaan bernegara tidak lagi dianggap penting, karena wadah untuk meningkatkan kesejahteraan ternyata tidak hanya bersumber dari kehidupan bernegara, tetapi juga dari kehidupan internasional. Ini merupakan ancaman yang sangat serius terhadap eksistensi Negara. Keberadaan negara sebagai wadah perjuangan bersama seluruh pendududuk untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dalam sebuah pemerintahan yang berdaulat, mulai digugat.
Tidak mengherankan, jika muncul fenomena di banyak Negara, yang ditandai dengan kehancuran semangat nasionalisme dan sebaliknya menguatkan semangat internasionalisme. Proses ini tentu berpotensi besar muncul ditengah-tengah pengelolaan Negara yang buruk oleh pemerintahnya.
“Harus kita pahami, tambahnya, nasionalisme tidak tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang sengsara. Nasionalisme hanya akan tumbuh jika masyarakat Negara itu hidup sejahtera dan bangga terhadap bangsanya sendiri dan pemerintah yang berkuasa,” kata lelaki yang berprofesi sebagai konsultan perminyakan ini.
Indonesia saat ini tengah berhadapan dengan situasi yang sulit. Hal itu dapat kita lihat dari menggerusnya kebanggaan bernegara dan meningkatnya orientasi global masyarakat. Ini sesungguhnya dapat dimaklumi karena dalam kenyataannya kehidupan masyarakat justru semakin terpuruk.
Tentu fenomena ini merupakan kecelakaan besar bagi kelangsungan bangsa Indonesia ditengah-tengah perubahan, baik yang berskala nasional maupuan internasional, yang tidak berpihak kepada Indonesia. Reformasi yang sebelumnya dipandang sebagai jalan keluar dari buruknya pengelolaan Negara oleh pemerintahan sebelumnya, ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana yang dieluk-elukkan sebelumnya.
Pemerintahan pasca reformasi juga belum terlihat membawa angin segar dan harapan akan membaiknya kesejahteraan masyarakat. Yang malah terlihat justru keadaan yang terbalik dari harapan masyarakat. Kesejahteraan yang diharapkan akan datang pasca reformasi justru berubah menjadi keterpurukan, pemiskinan, ketiadaan lapangan kerja dan masa depan yang tidak menentu.
Bangkitkan Kembali Semangat Nasionalisme
Nasionalisme, dalam realitasnya merupakan alat yang digunakan sebuah bangsa untuk mempertahankan diri dari perpecahan. Jika pada awalnya perpecahan Negara ditengarai serangan dari luar maka pada saat ini lebih banyak ditengarai perpecahan dari dalam Negara itu sendiri.
“Kenapa Papua atau Maluku ataupun Aceh bergolak dan menyatakan keinginannya memisahkan diri dari NKRI. Jawabannya adalah bahwa mereka tidak lagi bangga sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Jika ada pertanyaan berikutnya, kenapa mereka tidak bangga, maka jawabannya adalah karena mereka tidak merasa sejahtera sebagai bagian dari NKRI. Oleh karena itu mereka merasa, akan hidup lebih sejahtera jika melepaskan diri NKRI dan menjadi Negara yang berdiri sendiri,” tuturnya.
Jadi, tidak hanya Papua, Maluku, atau Aceh, daerah-daerah lain juga bisa menuntut hal yang sama, melepaskan diri dari NKRI. Lalu jalan keluar apa yang harus diupayakan untuk menghindari perpecahan ini. Satu-satunya adalah membangun nasionalisme disetiap jiwa masyarakat Indonesia termasuk dikalangan pemerintah dan aparatur pemerintahan dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, kalangan elit politik dan kader-kader partai politik, pengusaha dan para professional, hingga masyarakat bawah.
Pengertian nasionalisme dalam hal ini adalah pandangan dan perilaku yang mengedepankan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi, golongan, atau kelompoknya. “kehancuran nasionalisme ditengah-tengah masyarakat Indonesia terjadi karena sebagian anggota masyarakatnya lebih mendahulukan kepentingan pribadi, kepentingan golongan, dan kelompoknya sendiri dan untuk mendapatakan kepentingan itu adalah dengan mengorbankan kepentingan bangsa dan Negara,” tuturnya.
Lebih lanjut B. Rudianto mencontohkan perilaku KKN di lingkungan birokrasi dan dunia usaha merupakan wujud nyata penghancuran semangat nasionalisme. Perilaku itu telah mengakibatkan segelintir orang menjadi kaya raya sementara jutaan bahkan ratusan juta masyarakat lainnya menjadi lebih sengsara.
Sumber daya pembangunan dan penyejahteraan masyarakat yang dikorupsi para penyelenggara Negara dan pelaku usaha telah mengakibatkan mereka kaya raya, sementara masyarakat lain yang seharusnya menikmati pembangunan tidak lagi merasakan nya, hingga mereka semakin miskin.
Sumber : tokoh-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar