Cari Blog Ini
Rabu, 22 Juni 2011
Biografi Ali Mochtar Ngabalin
Nama : Drs. H. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si
Lahir : Fakfak, 25 Desember 1969
Agama : Islam
Istri : Henny Muis, SE
Anak :
1. Fuad Ali Mochtar
2. Faroek Ali Mochtar
3. Fathe Ali Mochtar
4. Farhaad Ali Mochtar
5. Fauzan Ali Mochtar
Pendidikan :
-Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jurusan Ilmu Komunikasi
-Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Fak. Dakwah
-Muallimin Muhammadiyah, Makassar
Pekerjaan :
-Mubaligh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Makassar
-Pimpinan Pondok Pesantren Darul Fallah, di Palu
-Direktur Eksekutif Indonesian Network For Crisis (InCR)
-Direktur Eksekutif Adam Malik Center (AMC)
-Dosen Luar Biasa Pasca Sarjana Institut Agama Islam Al Aqidah, Jakarta
-Direktur Jurnal Sinema (Studi Informasi dan Media), Jakarta
-Anggota DPR RI 2004-2009
Pengalaman Organisasi:
-Ketua DPP Partai Bulan Bintang (PBB), 2005-2010
-Ketua DPP Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia
-Ketua DPP Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia, 2003-2004
-Sekretaris Dewan pakar Komite Independen Pengawas Kinerja dan pemilihan Kepala Daerah Indonesia
-Anggota Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 1997-2004
Karya Tulis :
Peranan Opinion Leader Dalam Penyelesaian Konflik di Maluku (Kajian Ilmu Komunikasi)
Alamat : Wisma Anggota DPR RI, Blok E-1 No. 357 Kalibata Jakarta 12750
Bintang Senayan yang Unik
Anggota DPR yang satu ini sangat mudah dikenali. Selain karena nada bicaranya yang lantang dan tegas, serta isi pernyataan politik yang vokal, penampilannya juga unik. Ali Mochtar Ngabalin, wajahnya dihiasi janggut dan kumis dan selalu mengenakan busana stelan jas necis dipadu lengkap dengan lilitan surban.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (F-BPD), mewakili Partai Bulan Bintang (PBB, yang juga seorang mubaligh, pimpinan pondok pesantren, dosen luar biasa sebuah institut agama Islam, dan Ketua DPP Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), ini di lingkungan politisi Senayan, sudah sangat dikenal.
Dengan penampilan unik dan nada bicara lantang dan tegas, serta isi pernyataan politik yang vokal, jadilah Ali Mochtar menjadi salah satu bintang politisi Senayan yang sering menjadi sorotan media massa. Pernyataan politik dan foto-foto Ali kerap kali menghiasi halaman media cetak dan ruang berita televisi.
Kepeloporan Ali sebagai bintang politisi Senayan memperoleh momentum pada pertengahan September 2005, tatkala berinisiatif mengajukan penggunaaan hak interpelasi atau hak meminta penjelasan resmi kepada pemerintah, yang memang dimiliki setiap anggota Dewan. Lulusan Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) Depok, Jurusan Ilmu Komunikasi, ketika itu mempermasalahkan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memimpin sidang kabinet jarak jauh antara Amerika Serikat-Jakarta melalui telekonferensi.
Ali Mochtar berpendapat, pelaksanaan telekonferensi merupakan sebuah langkah gegabah sebab bisa membuka rahasia negara. Sidang kabinet lazimnya dilakukan secara tertutup sebab menyangkut langkah-langkah strategis pemerintah dalam mengkaji kebijakan negara. “Dengan telekonferensi, Presiden bisa membuka rahasia negara,” tutur ayah dari lima orang anak, buah pernikahannya dengan Henny Muis.
“Bagi negara lain, telekonferensi Presiden ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan negaranya. Berbagai informasi yang disadap bisa dimanfaatkan untuk mengambil langkah-langkah antisipatif. Bagi pengusaha, informasi yang diperoleh dari telekonferensi dapat dimanfaatkan untuk meraih keuntungan atau merusak pasar. Ini jelas tidak baik,” jelas Ali Mochtar, yang menjabat direktur eksekutif di sejumlah lembaga nirlaba. Ia berpendapat telekonferensi membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga sangat tidak signifikan dalam situasi negara yang sedang krisis.
Setelah menjadi inisiator pengajuan hak interpelasi, Ali bersama beberapa anggota DPR lain segera menyiapkan proposal dan mengumpulkan tanda tangan dukungan, hingga terkumpullah sebanyak 20 tanda tangan. Mereka sudah siap-siap untuk bertanya langsung kepada Presiden perihal telekonferensi yang memang baru kali itu terjadi dalam sidang kabinet.
Namun sesudah gigih berjuang termasuk menyiapkan konsep interpelasi, dalam perjalanannya dukungan terhadap Ali Mochtar sebagai pioner penggunaan hak-hak Dewan perlahan-lahan menyusut. Harian Rakyat Merdeka (29/9) menuliskan, para wakil rakyat seolah sudah ‘masuk angin’ sebab satu demi satu mereka menarik dukungannya. Dari 20 pengusul lima orang diantaranya secara resmi mencabut dukungan. Namun berkat keberanian Ali Mochtar berhembuslah angin segar di kalangan politisi dan masyarakat luas, bahwa setiap anggota Dewan sewatu-waktu dapat saja bertanya dan melakukan penyelidikan apabila ditengarai pemerintah salah dalam memerintah.
Kepeloporan anggota Dewan Ali Mochtar Ngabalin yang selalu berada di garis depan perjuangan, sesungguhnya sudah dimulainya tatkala ramai persoalan perebutan pulau Ambalat antara Pemerintah RI dan Malaysia. Majalah dengan pembaca utama kaum muslim Amanah, edisi No. 63 Juni 2005 menobatkan lelaki kelahiran Fakfak, 25 Desember 1969 ini sebagai lambang perlawanan terhadap sikap Malaysia yang hendak merebut salah satu pulau terluar milik Indonesia ini. Sebutan yang sangat pas sebab harian Kompas pun (7/4), memuat laporan berikut foto Ali persis tatkala sedang mengepalkan tangan dan meneriakkan pekik nasional “Merdeka”, di atas sebuah kapal milik TNI AL.
Ali Mochtar bersama rombongan hadir ke Ambalat untuk memberi semangat kepada pasukan TNI dan pekerja mercusuar di Karang Unarang. Selain ke Ambalat Ali pernah pula terjun langsung ke Sambuaga, Filipina, untuk melakukan negosiasi pembebasan tiga nelayan Indonesia yang disandera di Filipina Selatan, beberapa waktu lalu.
Anggota Yang Gelisah
Ali memilih Komisi I sebagai tempat berkiprah dan menyebutnya sebagai komisi ‘Air Mata’, karena tugas mereka melulu lebih banyak mengurusi masalah di daerah konflik, daerah perbatasan, TKI yang bermasalah, hingga warga negara kita yang bermasalah sebab terkena kasus politik di luar negeri.
Sebagai politisi muda yang mampu berpikir jernih Ali Mochtar mengaku banyak hal yang mesti di benahi di tubuh parlemen. Bukan saja pada soal kinerja tetapi juga perundang-undangan yang mengatur anggota DPR RI, yang di beberapa hal perlu direvisi dan dievaluasi. Misalnya, menyangkut bagaimana hubungan kerja antara lembaga parlemen dengan pemerintah, anggota parlemen dengan partai piolitik, dan lain-lain. Menurutnya, “Sistem distriknya perlu diatur ulang.”
Ali Mochtar lalu bercerita soal sebuah kasus yang pernah terjadi dan begitu membekas di ingatannya. Yakni, ketika DPR berencana mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Rapat sudah diagendakan akan berlangsung hari Sabtu (24/9).
Namun sehari sebelumnya, Jumat, muncullah keputusan pemerintah perihal persetujuan kenaikan tunjangan setiap anggota DPR sebesar Rp 10 juta per bulan. “Sehingga pada rapat tanggal 24 itu, semua anggota mulutnya terkunci. Isu kenaikan BBM tidak disinggung-singgung lagi,” kenang Ali. Walau tambahan tunjangan Rp 10 juta baru akan cair bulan Januari 2006 nanti, “Tapi secara konsitusi berita itu sudah mempengaruhi,” ujar Ali. Mengalami kondisi seperti ini Ali mengaku bimbang. Kepada Berita Indonesia dengan lirih dia berujar, “Independensi kita sudah tidak ada lagi.”
Ali Mochtar juga menyoroti kebiasaan anggota Dewan yang seolah sudah membudaya, misalnya bila melakukan kunjungan ke daerah. Pemda biasanya akan sangat sibuk melakukan penyambutan seperti menyiapkan akomodasi, penginapan, makan, transportasi, hingga kadang merasa perlu menyediakan ‘amplop’. Ali Mochtar adalah politisi muda visioner yang berusaha menghilangkan kebiasaan buruk seperti itu.
Ali berprinsip setiap anggota Dewan sudah dibiayai oleh negara untuk menjalankan tugas-tugas pemantauan ke daerah-daerah. Karena itu anggota Dewan janganlah memberatkan daerah yang dikunjungi. Demikian juga kalau berkunjung ke luar negeri jangan pula merepotkan KBRI.
Ali sampai-sampai harus membuktikan sendiri kebenaran prinsipnya tatkala melakukan kunjungan kerja ke daerah asal pemilihannya, Sulawesi Selatan II. Ketika itu sebagai tamu Gubernur Ali sudah mendapatkan penyambutan hangat. Kendaraan ‘dinas’ pun disediakan untuk mengantarkan ke mana Ali mau pergi. Akan tetapi begitu mengetahui bahwa kendaraan yang akan mengantarkannya adalah kendaraan dinas kantor gubernur maka seketika itu pula Ali bergegas turun dan berganti menyetop taksi.
Kejadian sebagai contoh bagus tersebut serta-merta menyita perhatian banyak orang, seperti wartawan dan sejumlah karyawan pemda yang sedang berada di halaman kantor gubernuran. Lalu secara terbuka Ali meminta agar pemerintah provinsi maupun kabupaten tidak perlu repot-repot mengurus wakil rakyat yang berkunjung ke daerahnya. Apalagi menyiapkan ‘amplop’, fasilitas mobil dan akomodasi hotel.
Pernyataan khas Ali Mochtar model begini tak urung telah mengundang sikap pro-kontra di kalangan dalam anggota Dewan. Tapi itulah Ali Mochtar yang sedang gelisah. Ia bahkan mengaku sudah mulai mengalami kegelisahan selewat enam bulan pertama duduk di kursi parlemen. Semua kegelisahan berkaitan dengan ketimpangan-ketimpangan yang dilihat dan dialaminya sendiri sebagai anggota Dewan. Beberapa hal yang ia alami terbukti mengingkari nuraninya.
Ia pun lalu pernah menjadi bimbang hingga memunculkan pernyataan khasnya, “Jika di DPR ini tidak bisa lagi membuat saya independen dalam mendahulukan kepentingan rakyat, saya harus siap untuk tidak berkiprah lagi di sini.”
Dwifungsi Politisi dan Pengusaha
Setelah gelisah dan bimbang Ali lalu mengajak setiap anggota Dewan yang merangkap sebagai pengusaha untuk meninggalkan bisnisnya. “Anggota dewan yang juga pebisnis harus mau meninggalkan bisnisnya. Jadi, ketika mereka datang di parlemen tidak lagi mengurus bisnisnya,” tegasnya.
Menurut Ali, anggota parlemen harus independen dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. “Tidak mungkin mereka bisa bekerja dengan baik dan maksimal, jika kebijakan-kebijakan yang turut dibuatnya masih ada unsur kepentingan pribadi atau kelompoknya. Pejabat politik bertugas membuat kebijakan untuk kepentingan publik. Sementara pengusaha selalu mencari keuntungan,” urainya.
Dicontohkan Ali Mochtar, jika mereka masih memegang jabatan sebagai dirut atau komisaris di perusahaan swasta, bagaimana jika nanti mereka membahas undang-undang tentang perusahaan swasta? “Independensinya untuk kepentingan publik bisa dipertanyakan. Sebab mereka turut dalam pengambilan keputusan kolektif,” ujar Ali.
Ketua DPP Partai Bulan Bintang (PBB) ini menggagas sudah perlu dipikirkan tata kerja parlemen. Adalah menjadi tanggungjawab partai dalam merekrut kader terutama untuk calon legislatif. Mestinya setiap partai harus memiliki dua cara rekruitmen. Pertama, kader yang menjadi representasi untuk kepentingan politik di parlemen. Kedua, kader yang menjadi representasi untuk membesarkan partai.
Ali Mochtar Ngabalin yakin dengan dua cara perekrutan akan bisa menyaring calon legislatif yang sekaligus tidak terlibat dalam bisnis. Atau calon legislatif yang siap melepaskan jabatannya di sektor bisnis sehingga independensi parlemen terwujud.
Sumber : tokoh-indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar