Cari Blog Ini
Minggu, 19 Juni 2011
Aksa Mahmud, HM
Pengusaha dan Politisi Negarawan
Dia seorang pengusaha pejuang yang kemudian bertekad mengabdi sebagai politisi negarawan. Setelah berjuang dengan kerja keras membangun imperium bisnis Bosowa Group, HM Aksa Mahmud, bertekad mengabdikan diri sebagai negarawan, baik dalam posisi politisi sebagai Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dari Sulawesi Selatan maupun pejabat lembaga tinggi Negara sebagai wakil Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) periode 2004-2009, serta dalam posisi pelayan sosial sebagai filantropi melalui beberapa yayasan yang didirikannya.
Semangat juang dan tekad pengabdian, pendiri Grup Bosowa yang dirilis Forbes Asia (September 2006) sebagai urutan 28 dari 40 orang Indonesia terkaya, dan urutan 6 pribumi terkaya, dengan kekayaan $195 juta, itu pantas diapresiasi dan dianalogikan laksana proses pengasahan berlian yang kuat dan indah.
Semangat dan kisah suksesnya sebagai pengusaha diraih dengan doa, kejujuran, bekerja keras, belajar terus menerus, berani mengambil risiko dan bertanggung jawab, yang merupakan filosofi hidupnya. Ulet dan piawai, laksana mengasah batu intan berlian yang amat keras sehingga memancarkan kilauan yang amat indah. Keberaniannya sebagai pebisnis pejuang terbentuk laksana letusan gunung merapi yang memuntahkan dan menyisakan batu-batu berlian dari kedalaman perut bumi. Pernyataan atau analogi ini, seakan terlalu berlebihan. Namun, setuju atau tidak, jika disimak, pernyataan itu cukup komunikatif untuk menganalogikan kisah perjalanan hidup putera bangsa kelahiran Barru, Sulawesi Selatan, 16 Juli 1945, ini.
Walau tidak sempurna, perjalanan hidup Aksa Mahmud, dapat dianalogikan laksana proses pengasahan (cutting) berlian. Dengan asumsi, bahwa semua manusia adalah laksana berlian. Setidaknya, berlian dalam dirinya sendiri. Masalahnya adalah bagaimana seseorang itu mengasah berlian dalam dirinya itu. Itulah yang paling menentukan kualitas berlian dalam diri seseorang. Aksa Mahmud dapat secara mumpuni mengasah berlian dalam dirinya sehingga menghasilkan kilauan cemerlang, baik dalam perjuangannnya yang keras sebagai pebisnis maupun dalam tekad pengabdiannya sebagai politisi negarawan. Selengkapnya baca: Berlian Bangsa dari Timur, halaman 16.
Hampir seperampat abad, Aksa berjuang mendirikan dan membesarkan Bosowa Group, serta mempersiapkan generasi kedua mengambil-alih estafet kepemimpinan untuk pengembangan Bosowa memasuki kejayaan sebagai perusahaan multinasional ke depan. Selengkapnya baca: Entrepreneur Pendiri Bosowa, halaman 22; dan, Bosowa, Tiga Kerajaan Berlian, halaman 26.
Kemudian Aksa Mahmud pun kembali ke habitatnya dalam dunia politik. Tatkala masih mahasiswa Fakultas Teknik Elektro Universitas Hasanuddin di Makassar, dia seorang aktivis, Angkatan 66. Saat ini, seperti dikemukakannya kepada Wartawan Tokoh Indonesia, dia telah mantan pengusaha, menjadi politisi dan pejabat negara.
Sebagai pengusaha, Aksa menyebutnya sebagai era perjuangan. Pebisnis pejuang! Dia adalah pengusaha yang bertanggung jawab sebagai warga negara yang baik. Pengusaha yang tidak mau merugikan Negara. Sebagai contoh, ketika krisis ekonomi melanda negeri ini 1997-2000, banyak konglomerat yang melepas perusahaannya masuk BPPN untuk menghindari kewajiban, tapi Aksa tidak melakukannya. Dia menyelesaikan semua kewajibannya, walaupun kondisi sangat sulit.
Bahkan setelah melewati dan mengatasi kondisi sulit itu, dia mampu mengembangkan sayap Bosowa Group, selain sukses membangun pabrik semen, juga mengambil-alih pengelolaan jalan tol Bintaro, membangun pembangkit tenaga listrik di Cirebon dan lain-lain. Sekarang, setelah melepas kepemimpinan perusahaannya kepada putera-puterinya yang juga telah dipersiapkannya, dia pun memanfaatkan sisa hidupnya untuk sepenuhnya mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negaranya dalam posisi sebagai politisi dan pejabat negarawan.
Sejak kecil hingga berusia 60 tahun, dia sudah berjuang dan berhasil membangun Bosowa Group, kini dia bertekad untuk mengabdi. “Jadi dalam sisa hidup, saya lebih berpikir bagaimana banyak berbuat kepada negeri ini, kepada bangsa ini, kepada umat ini. Saya lebih banyak mengharap bahwa mudah-mudahan sisa umur ini bisa lebih banyak bekerja untuk bangsa dan negara ini dan agama sehingga manfaatnya bisa dirasakan lagi kepada generasi selanjutnya,” ujar Anggota Dewan Wali Amanat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ini.
Aksa merasa lepas, plong, karena di dunia usaha sudah bisa mengantarkan perusahaan yang didirikannya untuk diserahkan kepada generasi kedua. Kepada generasi kedua, Aksa berpesan: Buktikan bahwa anekdot Tiongkok itu tidak benar. Bahwa pendirinya berdarah, berkeringat dan bersusah payah membesarkan usaha, generasi kedua menikmati, lalu generasi ketiga menghancurkan. Tapi cobalah sebagai anak bangsa membuktikan bahwa pendirinya berkeringat, bersusah payah membangun, second generation membesarkan dan generasi ketiga membuat kejayaan.
Kepada putera-puterinya, Aksa selalu mengingatkan filosofi hidup yang dianutnya, yakni bekerja keras, belajar terus menerus dan berdoa. Filosofi ini selalu ditanamkan dan dilakoni dalam setiap detik dan gerak kehidupannya. Itulah kunci utama keberhasilannya mengasah berlian (talenta) dalam dirinya sehingga mencapai sukses, baik dalam membangun usaha, membina keluarga dan berguna bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara.
Dia sangat mengandalkan bekal yang diterima dari orang tuanya waktu kecil, bahwa segala sesuatu yang ingin kita capai adalah kehendak Tuhan, kehendak Allah. Kita hanya boleh bercita-cita, boleh berniat, boleh bekerja keras tapi pada akhirnya keputusan di tangan Allah. Oleh karena itu, dia menyimpulkan, kita bekerja keras, kita belajar terus menerus, kita berdoa supaya lahir keputusannya dari Tuhan. Karena kita hanya sampai pada tingkat berdoa, keputusan ada di tangan Tuhan, bukan ada di tangan kita.
Atas bekal itu, dia selalu menekankan bahwa di dalam dunia bisnis itu harus berusaha menjadi seorang pebisnis yang baik? Pertama, landasannya adalah kejujuran, kedua kerja keras, dan ketiga punya keberanian dan percaya diri. Jadi kalau tidak jujur jangan masuk dunia bisnis, kalau juga tidak mau kerja keras jangan masuk dan tidak punya keberanian juga jangan masuk. Kenapa? Bisnis itu bagaikan perang yang tiada habis-habisnya. Selengkapnya baca: Kiat Bisnis Bosowa halaman 27.
Melalui kiprah bisnisnya yang telah digeluti lebih seperempat abad, ayah lima orang anak ini telah menggoreskan tinta emas dalam pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Citranya sebagai konglomerat juga relatif bersih. Namanya bersih dari berbagai kasus kredit macet, penggelapan pajak, perusakan lingkungan hidup dan kasus miring lainnya yang selama ini banyak ditudingkan kepada sejumlah konglomerat Indonesia.
Perjalanan hidup pendiri Bosowa Grup ini benar-benar sarat dengan hal-hal yang patut diteladani oleh orang-orang yang mau belajar dari pengalaman berharga orang lain. Dia terkenal sebagai pekerja keras dan pantang menyerah. Laksana diamond (berlian) yang “mustahil untuk dijinakkan”. Sebagai pengusaha, kejeliannya mengendus dan memanfaatkan peluang bisnis pantas dikagumi. Dengan hanya diawali modal sebesar Rp 5 juta, dia kini tercatat menjadi salah satu pengusaha pribumi yang amat disegani.
Bahkan menurut Majalah Forbes Asia, yang dirilis September 2006, Aksa menembus ranking 28 orang terkaya di Indonesia, berada beberapa tingkat di atas kekayaan kakak iparnya M Jusuf Kalla yang berada di urutan 36 dari 40 orang terkaya Indonesia.
Politisi Menipu, Dosa!
Kemudian Aksa masuk di dunia politik. Dalam dunia politik, dia menghadapi suatu kondisi yang sangat berbeda. Dalam dunia bisnis dia selalu menanamkan disiplin dan kejujuran. “Kalau kita bicara kejujuran pasti sangat menghindari kebohongan kan?” ujar mantan Anggota MPR RI Fraksi Utusan Daerah dari Sulawesi Selatan (1999-2004) itu. Sementara berada dalam wilayah politik, bahwa berbohong itu tampaknya legitimate, sangat lazim. “Tampaknya kalau kita berada di politik, seolah tidak menjadi politisi yang cerdas kalau tidak tahu berbohong,” ujar suami dari Hj Ramlah Aksa dan ipar dari Wakil Presiden Jusuf Kalla itu.
Jadi ada tiga kehidupan yang berbeda, kehidupan pebisnis atau pengusaha dan kehidupan politisi serta kehidupan sebagai pejabat negara. Seorang politisi dianggap cerdas apabila ada kemampuan ‘berbohong’ dan tebar pesona, ada kemampuan membangun citra yang pada dasarnya adalah juga bertujuan yang baik. Oleh karena itu, seolah-olah kebohongan adalah modal dasar seorang politisi. Sedangkan kejujuran adalah modal dasar seorang pebisnis.
Dalam dunia yang berbeda itu, Aksa dengan cerdas dan bijak beradaptasi untuk bisa berperan secara optimal. Beradaptasi dari satu alam yang sangat mengharamkan berbohong, masuk dalam wilayah kehidupan politisi yang justru seolah menolerir. Dalam dunia bisnis, bohong itu dianggap dosa. Sedangkan dalam dunia politisi ‘bohong’ itu tidak dosa. Oleh karena itu, Aksa mengatakan, akan menjadi seorang politisi yang akan mengikuti segala peralatan-peralatan politisi. “Kalau harus ‘bohong’ saya harus ‘bohong’, tapi saya tidak akan menipu,” ujarnya.
Kalau ‘bohong’ dinyatakan oleh politisi tidak dosa, tapi menurutnya, menipu itu dosa besar. Jadi, ‘berbohong’ yang tidak dosa dengan menghindari menipu. Muncullah politisi yang bisa berbohong tapi tidak menipu, supaya tidak berbuat dosa. Itulah yang muncul dalam pikirannya ketika kembali memasuki dunia politik. Sehingga dalam perjalanan ke depan, dalam dunia politik, dia bertekad tidak akan menipu konstituen. Bagi dia, tegas, dalam politik, menipu adalah dosa.
Aksa memberi contoh tentang kebohongan yang tidak menipu. Kalau berbicara harapan-harapan atau janji-janji, dengan kesadaran sesungguhnya itu tidak bisa tercapai adalah menipu dan dosa. Itu janji yang menipu! Tapi kalau berbicara harapan dan janji yang memang sesungguhnya diniatkan untuk dicapai, tapi ternyata setelah dilakukan berbagai usaha untuk mencapainya, belum juga terwujud, itu bukan menipu. “Tapi kalau kita bicara lantas tidak ada usaha, itu menipu namanya,” kata Aksa Mahmud.
“Kalau kita berusaha tapi tidak tercapai, di situ seolah ada kebohongan, tapi tidak ada niat menipu. Tapi kalau kita bicara tapi tidak berbuat untuk mencapai, itu memang niatnya sudah menipu, itulah haram. Itulah menurut saya tidak benar,” Aksa Mahmud menjelaskan. Itulah barangkali yang dimaksud berbohong di politik boleh, tidak haram, tapi menipunya haram. Artinya, katanya, kita berbicara harapan dan ada usaha untuk mencapainya tapi kemudian tidak tercapai, memang terjadi kebohongan. Tapi, menurut Aksa, itu tidak dosa karena ada usaha. “Tapi kalau memang berjanji lantas tidak ada usaha, kemudian tidak tercapai, itu menipu namanya. Dosa itu!” tegas Aksa, dalam menentukan sikap di dunia politik.
Negarawan, Intinya Kejujuran
Kemudian posisinya berbeda lagi setelah menjabat Wakil Ketua MPR, sebagai pejabat negara di lembaga tinggi negara. Lengkaplah dia berjuang dan mengabdi dalam tiga dimensi kehidupan. Kehidupan pertama sebagai pengusaha, kehidupan kedua sebagai politisi, dan kehidupan ketiga sebagai pejabat negara. Kalau tadi antara pengusaha dengan politisi seolah saling bertentangan. Tapi sebagai pejabat negara, kedua-duanya harus kombinasi. “Jika di politisi bohong itu seolah tidak dosa, kalau di pejabat negara semuanya itu tidak boleh,” tegasnya. Sebagai pejabat negara, semata-mata intinya harus kejujuran.
Jadi dia berkesimpulan, antara dunia usaha, dunia politisi dan pejabat negara, akan melahirkan landasan utamanya adalah kejujuran. Kenapa? Bahwa bangsa ini harus diurus dengan landasan kejujuran supaya masyarakat ini bisa percaya kepada pemimpinnya. Karena tidak ada pemimpin yang sukses tanpa mendapat dukungan kepercayaan dari yang dipimpin.
Oleh karena itu, dia berprinsip bahwa posisinya sebagai pejabat negara harus berada dalam landasan kejujuran. Kejujuran itu artinya, tidak boleh mengkhianati komitmen-komitmen sebagai pejabat negara. Oleh karena itu, kalau menjadi pejabat negara, jangan mencari kekayaan tapi mencari keharuman nama. Karena memang negarawan, ya begitu. Menurutnya, tidak ada negarawan yang kaya, tapi negarawan itu punya keharuman nama dan selalu dikenang. Lebih mahal nilainya kenegarawanan itu daripada kekayaan. Kenikmatan yang tinggi menjadi pejabat negara adalah keharuman nama.
Kalau politisi berjuang untuk merebut kekuasaan. Pengusaha berjuang mendapatkan keuntungan. Sedangkan negarawan bagaimana berbuat untuk mendapatkan keharuman nama. Tentu, menurut Aksa, keharuman nama hanya bisa dicapai kalau dilandasi pengabdian yang tulus dan jujur. Apa yang kita buat untuk kepentingan orang banyak. Apa yang kita lakukan untuk kepentingan yang lebih luas. Apa yang kita perbuat pada dasarnya untuk kepentingan bangsa. Itulah landasan untuk menjadi negarawan.
Memang, pejabat negara itu pada dasarnya juga diperoleh melalui perjuangannya mencapai kekuasaan, baik melalui partai politik atau tidak, namun sesudah menjabat kita harus menempatkan diri sebagai negarawan. Cara berpikirnya sudah lebih luas, tanpa interes pribadi. Sebab jika masih ada kaitan kepentingan bisnisnya atau kepentingan politiknya, posisi kenegarawanannya akan terganggu.
Oleh karena itu, menurut Aksa Mahmud, tidak sedikit orang menduduki jabatan kenegaraan tapi tidak menghasilkan keharuman nama malah menghasilkan kesan yang tidak bagus dalam pengabdiannya.
Nah, tinggal kita pilih, mau menjadi teladan kepada generasi pengganti kita, mari berbuat yang sebaik-baiknya. Kalau mau dicaci-maki oleh generasi pengganti kita, bikinlah dosa selama kekuasaan itu ada ditangan. Maka, itu yang saya katakan bagaimana kita berbuat sebaik-baiknya sesuai amanat rakyat, amanat bangsa ini, perintah UU. Semua yang dipercayakan mengurus negeri ini berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan yang lebih besar.
Pengabdian Politisi Negarawan
Bagi Aksa, masuk dalam dunia politik, sesungguhnya adalah untuk mengabdi. Sama sekali dia tidak punya interes pribadi. Dia hanya ingin mendayagunakan sisa hidupnya untuk bisa berperan meningkatkan kesejahteraan, harkat dan martabat bangsa ini. Sebab, menurutnya, menjadi politisi adalah pintu masuk yang demokratis ikut terjun langsung dalam memengaruhi kebijakan negara demi kemakmuran seluruh rakyat bangsa ini.
Secara pribadi, Aksa yang sudah berkecukupan secara ekonomi dan diberkahi lima putera-puteri yang sudah jadi, tidak punya lagi interes, ambisi menjabat sesuatu jabatan penting untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Justru sebaliknya, dia ingin mendayagunakan diri dan kemampuannya demi kepentingan orang banyak, bangsa dan negara. Dia ingin mengabdikan diri kepada Allah dan sesama manusia di sekitarnya, tanpa membedakan asal-usul, golongan dan kelompok.
Dia bertekad menjadi seorang politisi yang negarawan. Apalagi dalam posisinya saat ini sebagai Wakil Ketua MPR, yang harus berpikir, berbuat dan mengabdi untuk seluruh rakyat di wilayah NKRI. Aksa tak lagi cukup hanya hanya memperhatikan perbaikan kesejahteraan belasan ribu karyawan yang tergabung dalam Grup Bosowa, beserta keluarganya, atau delapan juta warga Sulawesi Selatan, daerah yang memilihnya menjadi anggota DPD. Melainkan ingin memberikan sumbangsih utuh, mengabdi, kepada seluruh (hampir 240 juta) warga Indonesia.
Sebagai contoh, Aksa Mahmud, tampaknya sama sekali tidak berambisi untuk menduduki kursi gubernur Sulsel yang kini tengah jadi incaran sejumlah tokoh. Padahal, melihat arus politik yang tengah mengkristal di tanah kelahirannya itu, pendiri Bosowa Grup ini sangat dijagokan dan memiliki peluang besar untuk menduduki kursi Gubernur Sulsel. Namun, baginya, jabatan sebagai anggota DPD dan Wakil Ketua MPR sudah begitu terhormat untuk bisa berbakti dan mengabdi, sekecil apapun, untuk bangsa dan negara ini.
Aksa yang lebih afdol dengan istilah entrepreneur dibanding sebutan konglomerat itu, sejak tahun 2004, memang mengabdi ke dunia politik dengan menjadi anggota DPD (di AS kedudukan ini sangat terhormat dengan sebutan senator). Sebelumnya dia juga pernah menjadi anggota MPR sebagai utusan daerah dari Sulsel. Tapi karier politiknya tidak hanya sebatas menjadi anggota DPD. Peraih suara terbanyak dalam Pemilihan Umum anggota DPD dari Sulsel ini ternyata terpilih menjadi wakil ketua MPR. Sebuah jabatan prestisius dan menjadi dambaan ratusan wakil rakyat yang berkantor di Senayan. Ibarat pepatah, sekali mendayung dua pulau terlampaui, begitulah perjalanan politik Aksa Mahmud. Seperti halnya dalam berbisnis, dalam berpolitik pun ia tak mau bekerja setengah-setengah.
Konsekuensi jabatan ini tentu saja sudah diperhitungkan oleh pendiri Grup Bosowa ini. Sebab sejak mula sudah timbul tekadnya bahwa dunia politik baginya adalah pengabdian. Jabatan atau kekuasaan adalah sarana utama pengabdian. Dengan jabatan di lembaga tinggi negara itu, dia sudah sangat menyadari harus lebih banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk mengurusi masalah bangsa dan negara, khususnya yang terkait dengan fungsi MPR dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga legislatif.
Sama sekali dia tidak memikirkan masalah gaji/pendapatan yang sudah barang tentu tidak seberapa dibanding penghasilannya sebagai pengusaha. Termasuk kendaraan yang ditumpanginya sehari-hari, sudah pasti tidak semewah mobil pribadinya sebagai pemilik dari tidak kurang 30 buah perusahaan yang bernaung dalam panji-panji Bosowa Group.
Tapi bagi Aksa Mahmud, ini justru menjadi kepuasan tersendiri, yakni pengabdian. Jabatan di lembaga kenegaraan yang dilakoninya sekarang baginya merupakan manifestasi dukungan dan kepercayaan rakyat kepadanya. Sebagai wakil ketua MPR, dia kini punya kapasitas untuk ikut memecahkan masalah-masalah strategis, menyumbangkan tenaga dan pikirannya demi kemajuan bangsa dan negara.
Kepuasan itulah antara lain yang mendasari niatnya untuk tidak ikut-ikutan terjun dalam pemilihan gubernur Sulawesi Selatan yang akan digelar dalam waktu dekat. Padahal, dukungan masyarakat Sulsel agar dia mencalonkan diri menjadi salah satu kandidat mengalir begitu deras dan mengemuka dalam beberapa bulan terakhir.
Sebelumnya, dia memang kalah dalam pertarungan memperebutkan kursi “Garuda Satu” Sulsel (2002). Tapi sistem pemilihannya waktu itu tentu saja masih pola lama, sepenuhnya ditentukan oleh perhitungan suara di DPRD Tkt I. Sedangkan sekarang, sudah era pemilihan langsung. Sementara, dalam Pemilu lalu, ketika memperebutkan kursi anggota DPD Sulsel, Aksa Mahmud meraih jumlah suara terbanyak untuk lolos ke Senayan. Karena itulah, banyak pengamat memperkirakan bahwa peluangnya untuk memenangkan pemilihan gubernur Sulsel kali ini, sangat besar.
Namun, tampaknya Aksa Mahmud menolak secara halus aspirasi pendukungnya. Aksa Mahmud telah memantapkan pilihannya untuk mengabdi sebagai Wakil Ketua MPR. Artinya, dia sudah merasa berguna dalam posisinya sebagai senator dan wakil ketua MPR. Padahal, bagi sebagian besar orang, kalau dihitung-hitung dari berbagai aspek, posisi gubernur sangatlah strategis baik dari segi pendapatan dan fasilitas yang akan didapatkannya. Terlebih lagi dengan pengembangan mata rantai bisnisnya yang berbasis di Sulawesi, posisi sebagai gubernur Sulsel sangat menggiurkan. “Saya yakin, Tuhan akan memberikan figur yang lebih berpotensi untuk melanjutkan pembangunan Sulsel,” katanya seperti dikutip oleh pers.
Sikap ini menunjukkan pribadinya yang tidak haus kekuasaan. Walau sebenarnya secara material dan pengaruh politik dia mampu melakukan itu. Dengan demikian, dia rela dan memberi kesempatan kepada yang lebih muda untuk memimpin Sulsel, begitu komentar seorang tokoh muda yang sangat terkesan dengan sikap Aksa Mahmud tersebut.
Aksa menyadari sebagai wakil daerah, Dewan Perwakilan Daerah, yang dipilih langsung rakyat dengan suara terbanyak di daerah pemilihannya, tentu mempunyai tugas sesuai dengan UU, menyuarakan daerah yang diwakili, mewakili wilayah termasuk rakyat di dalamnya. Berbeda dengan anggota DPR mewakili kelompok atau partainya. Anggota DPD mewakili wilayah dan seluruh rakyatnya.
Namun sebagai Wakil Ketua MPR, dia mengemban tugas-tugas kenegaraan. Dia lebih menempatkan diri memikirkan setiap langkah kebijakan dan keputusan-keputusan yang selalu mementingkan nasional. Tidak lagi berpikir dari kawasan tapi seluruh kawasan bagaimana kebijakan-kebijakan perjuangan yang bersifat menyeluruh. “Mudah-mudahan tugas-tugas ini bisa saya jalankan sebaik-baiknya. Pertama, tidak mengecewakan daerah yang saya wakili. Kedua, tidak terlalu mengecewakan seluruh rakyat Indonesia,” kata Aksa dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia.
“Saya duduk di sini bukan berpikir demi kepentingan diri saya sendiri tapi saya selalu mau berdoa mohon mudah-mudahan di posisi ini saya selalu berpikir untuk kepentingan rakyat Indonesia, bangsa Indonesia, dan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa bagaimana pun tugas ini adalah menjaga negeri ini, negara kesatuan, dan menjaga rakyat Indonesia,” urai Aksa Mahmud.
Aksa juga sangat bersyukur atas mulai tumbuhnya bibit demokrasi di negeri ini. Menurutnya, negara yang demokratis telah menjadi tren dunia modern. Setiap negara, membutuhkan waktu yang relatif lama dan perjuangan yang cukup berat untuk mewujudkannya. Menurut Aksa, demokrasi mensyaratkan kesejahteraan dan pendidikan yang memadai paling tidak untuk sebagian besar anggota masyarakat. Walaupun, dia melihat, benih-benih demokrasi yang mulai bertunas di Indonesia itu masih penuh dengan tantangan. Antara lain, terlihat dari munculnya rasa tidak puas terhadap amandemen UUD 45, yang merupakan pilar utama demokratisasi di Indonesia. Selengkapnya baca: Langkah Mundur, Kembali ke UUD 1945, halaman 39.
Sorotan Publik
Sebagai politisi dengan latar belakang pengusaha dan kebetulan juga dekat dalam hubungan keluarga dengan M Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden yang berada di pusat kekuasaan, Aksa Mahmud memang tak bisa lepas dari sorotan publik yang terkadang menyudutkannya. Di antaranya ada saja pihak yang meragukan ketulusannya memilah-milah ketiga posisinya sebagai pebisnis, politisi dan sebagai pejabat negara (pejabat publik) ditambah lagi sebagai keluarga dekat Wapres Jusuf Kalla. Pertanyaan yang muncul di publik, apa tidak ada perbenturan kepentingan antara bisnis dengan jabatan sebagai pejabat negara?
Namun, semua tudingan miring yang dialamatkan ke arahnya ditanggapinya secara arif dan bijaksana. Dia menampik bahwa statusnya sebagai adik ipar Wapres Jusuf Kalla menjadi kunci sukses bisnis dan politiknya. Justru, seperti diakui sendiri, dia terkadang malah risih sendiri dan terbebani dengan posisinya sebagai bagian dari keluarga Wapres Jusuf Kalla. Aksa bukanlah tipikal manusia yang suka bersandar kepada pihak lain atau kepada penguasa.
Oleh karena itu, seluruh bisnis Bosowa yang kini dikendalikan anaknya, dia larang mengerjakan proyek pemerintah. “Boleh dicari, mana ada proyek bersumber dananya dari pemerintah, tidak ada. Semuanya bekerja untuk umum. Seperti jalan tol, dana pembangunannya bukan dari pemerintah. Bikin pembangkit listrik bukan uangnya pemerintah, bikin kebun bukannya uang pemerintah. Jadi tidak bersumber dari dana pemerintah.”
Yang ada adalah kebijakan pemerintah yang memang siapa yang mau bangun jalan tol, maka ada uangnya silahkan bangun. Siapa mau bangun pembangkit listrik, yang ada uangnya silahkan bangun. Pemerintah hanya menciptakan iklimnya. “Jadi saya suruh anak saya, masuklah pada bisnis yang tidak bersumber dari dana pemerintah tapi masuk dalam bisnis yang iklimnya diciptakan pemerintah,” jelas Aksa. (Selengkapnya Baca: Wawancara HM Aksa Mahmud, halaman 30.
Proses pembentukan jati dirinya sejak kecil, cukup memberi jaminan bahwa dia seorang manusia yang berkepribadian kuat, punya harkat dan martabat yang tinggi. Sejak kecil, dia sudah melakoni bisnis antara lain dengan berjualan permen di sekolahnya. Menjual hasil dari desanya ke kota. Memisahkan diri dari perusahaan mertuanya dengan secara mandiri mendirikan perusahaan sendiri.
Aksa menempa diri laksana mengasah berlian dalam dirinya.Menamatkan Sekolah Rakyat di desa kelahirannya Barru, 1959. Kemudian melanjut ke Sekolah Teknik Negeri di Parepare, tamat 1962. Lalu setelah tamat Sekolah Teknik Menengah di Makassar (1965), melanjut ke Fakultas Teknik Elektro Universitas Hasanuddin di Makassar.
Aksa Mahmud juga aktif berorganisasi. Dia aktif sebagai Anggota Badan Pertimbangan KADIN Indonesia (2004-Sekarang). Ketua Dewan Bisnis Sulawesi (2003-sekarang). Anggota Dewan Wali Amanat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (2001-sekarang).
Ketua Dewan Pembinaan Daerah dan Pemasyarakatan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), 2001. Ketua Yayasan Universitas Islam Indonesia Makassar, Ketua Dewan Penyantun Politeknik Negeri Makassar, dan Ketua Dewan Penyantun Politani Negeri Pangkep (2000-sekarang).
Tahun 1999 sampai saat ini menjabat Ketua Umum KADIN Sulawesi Selatan. Tahun 1994 sampai saat ini menjabat Ketua Dewan Penasehat GAPENSI Pusat. Tahun 1987-1994 Ketua GAPENSI Sulawesi Selatan. Tahun 1983-1986 Ketua Bidang Pembinaan Anggota Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI. Tahun 1980-1983 Wakil Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI. Tahun 1976-1985 Sekretaris Umum AKI (Asosiasi Kontraktor Indonesia) Sul-Sel. Tahun 1982-1985 Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) HIPMI Sul-Sel. Juga pernah aktif sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Dana Persatuan Anggar Seluruh Indonesia.
Sewaktu mahasiswa aktif sebagai Aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), 1966. Tahun 1965 Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar dan tahun 1962 Alumni Pelajar Islam Indonesia.
Karirnya, selain sebagai pendiri dan pemimpin Group Bosowa (1968-2004), Aksa menjabat Wakil Ketua MPR RI (2004-2009), Anggota DPD dari Provinsi Sulawesi Selatan (2004-2009), Penasehat Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Bidang Perekonomian Daerah (2002 –sekarang) dan Anggota MPR RI Fraksi Utusan Daerah (1999 – 2004).
Sebagai wakil Ketua MPR, Aksa kini berkantor di Gedung Nusantara III Lt. 9, Jl Jend Gatot Subroto No.6, Senayan, Jakarta Pusat, Telp. 021 - 57895006, 57895026, dan tinggal di rumah dinas di Jl Denpasar Raya Blok C No 12 Kuningan, Jakarta.
Dalam usia hampir mencapai 62 tahun (lahir 16 Juli 1945), penampilan Aksa tampak jauh lebih muda dari usianya. Penggemar olahraga golf, renang dan diving ini memelihara kesehatan dengan menjaga kontinuitas main golf. Kemudian kalau pulang ke tempat kelahirannya di Barru, Sulawesi Selatan, dia pergi berenang dan menyelam ke laut. Saat menyelam di laut, dia sangat menikmati bagaimana indahnya dalam air.
“Di sana juga banyak keindahan-keindahan dalam air. Kalau sebagai pengusaha, menyelam itu semua utang kita lupakan. Kalau sebagai politisi, semua persoalan kita lupakan. Menyelam itu adalah suatu dunia kenikmatan, keindahan, bebas dari segala-galanya,” kata Aksa Mahmud. Menurutnya, pada dasarnya untuk menjaga kesehatan harus ada waktu yang harus dibebaskan dari segala beban.
Filantropi
Melengkapi sarana pengabdian-nya, selain aktif sebagai Anggota Dewan Wali Amanat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Ketua Yayasan Universitas Islam Indonesia Makassar, Ketua Dewan Penyantun Politeknik Negeri Makassar, dan Ketua Dewan Penyantun Politani Negeri Pangkep, Aksa juga mendirikan beberapa yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan masalah sosial. Antara lain, Yayasan Bosowa dan Yayasan Haji Mahmud. Yayasan Bosowa, antara lain langsung turun ikut membantu jika terjadi bencana. Juga dalam pendidikan, tiap tahun memberi kesempatan beasiswa pada anak-anak yang berpotensi tapi orang tuanya tidak mampu.
Yayasan Haji Mahmud, mengabadikan nama ayahnya, difokuskan dalam pendidikan taman kanak-kanak. Yayasan ini diharapkan ikut dalam pembentukan karakter dan landasan masa depan bangsa dengan membangun pusat-pusat pendidikan anak-anak terutama bagaimana anak-anak ini bisa belajar agama yang baik.
Yayasan Bosowa juga membangun TPA. TPA itu adalah taman tempat belajar mengaji. Sudah dibangun 150 TPA. Tujuannnya untuk membantu mendorong sekolah-sekolah swasta untuk bisa memperbaiki kualitasnya supaya ke depan bisa menjadi sekolah yang memiliki kualitas yang sama dengan sekolah negeri.
Sumber : tokohindonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar