Aberson Marle Sihaloho (1938-2006)
Nama : Aberson Marle Sihaloho
Lahir : Pematang Siantar, 4 November 1938
Meninggal: Jakarta, 12 Oktober 2006
Isteri: Ny Lenny Sihaloho
Anak:
- Dennis M Sihaloho
- Dion M Sihaloho
Karir:
Anggota DPR-RI dari PDI dan PDI-P, beberapa periode (terakhir 1999-2004)
Organisasi:
- Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), 1959-1965
- Pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta, 1959-1965
- Sekjen III DPP PNI 1970-1978
- Wasekjen PDI 1978-1980
- Ketua DPP PDI 1980-1986
- Ketua DPP PDIP 1996-2000
Alamat Rumah Keluarga:
Jalan Kramat VII No.15, Jakarta Pusat
Politisi Jujur dan Berani
Politisi yang dikenal jujur, konsisten dan berani, Aberson Marle Sihaloho, meninggal dunia, Kamis 12 Oktober 2006, pukul 07.00 WIB di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat. Jenazah mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 4 November 1938, itu disemayamkan di Rumah Duka Jalan Kramat 7 No.15, Jakarta Pusat dan dimakamkan di Sidamanik, Kab Simalungun (30 menit dari Pematang Siantar Sabtu (14/10).
Aberson meninggalkan seorang istri, Ny Lenny Sihaloho serta dua orang putera Dennis M Sihaloho dan Dion M Sihaloho. Menurut putra sulungnya, Dennis M Sihaloho yang sudah menikah dan memiliki satu anak, Aberson meninggal karena menderita komplikasi tumor dan yang juga mengakibatkan gangguan pada saluran pencernaan air besar. Dia dirawat selama hampir 1 bulan di RS PGI Cikini hingga menghembuskan nafas terakhirnya.
Politisi nasionalis sejati ini di masa muda dikenal sebagai aktivis. Dia pernah menjadi presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta, 1959-1965.
Pernah menjadi Sekjen III DPP PNI 1970-1978, Wasekjen PDI 19878-1980, Ketua DPP PDI 1980-1986 dan Ketua DPP PDIP 1996-2000.
Dia politisi yang konsisten dan berani menegakkan kebenaran di tengah berbagai ancaman dan tekanan. Dialah orang pertama yang mencalonkan Megawati sebagai Presiden RI menggantikan Soeharto, pada saat Soeharto masih berkuasa dan rezim Orde Baru masih sangat represif.
Aberson juga pernah diajukan ke pengadilan karena dituduh menghina Presiden Soeharto. Dia juga dikenal sebagai tokoh yang sangat teguh terhadap konstitusi. Dia sangat menghapal pasal dan ayat-ayat beserta penjelasan UUD 1945.
Aberson memiliki pengalaman yang sangat panjang di parlemen, terutama di bidang anggaran. Dia orang yang gigih untuk memperjuangan aspirasi rakyat dan konsisten dengan apa yang diyakininya benar. Dia politisi yang konsisten pada prinsip, jujur dengan integritas pribadi tinggi. Dia memang polistisi yang berkemampuan di atas rata-rata politisi, terutama penguasaan di bidang anggaran.
Di luar aktivitasnya sebagai politisi, Aberson juga aktivis gereja, terutama di Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. ?e-ti/tsl
Berharap Musik Jazz di DPD
Bagi mantan anggota Komisi IX dan Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dari PDIP, ini musik jazz dan musik klasik bisa dibandingkan dengan sikap politik kaum konservatif dan liberal. Dalam konkteks Indonesia, dia mengibaratkan DPR sebagai musisi klasik, sedangkan DPD musisi jazz. Jazz lebih demokratis, maka dia meninggalkan PDIP dan mencalonkan diri jadi anggota DPD dari Jakarta, sayang tidak terpilih.
"Di musik jazz semua pemain instrumen, termasuk penyanyinya, bebas melakukan improvisasi tanpa khawatir kehilangan kendali lagu yang dibawakan. Beda dengan musik klasik yang cara memainkannya harus sesuai perintah partitur yang sudah ditulis," kata ayah dua putra itu ketika dihubungi, Senin (1/3/2004) malam.
Dua-duanya, lanjutnya, memang sama-sama indah, "Tapi yang beraliran jazz tampaknya lebih menghargai demokrasi ya?" ucap Aberson. Semua bisa melakukan improvisasi, semua bisa menjadi lead.
Karena adanya dinamika seperti itu, dengan menu yang sama, Bengawan Solo, misalnya, bisa disajikan dengan bermacam warna. "Di musik jazz selalu ada yang baru. Dan yang baru itu lahir karena iklim demokrasi yang sehat dan kemampuan setiap individu mengolah demokrasi tersebut menjadi lebih produktif," papar pria kelahiran Pematang Siantar, 4 November 1938.
"Di musik klasik, yang ada cuma kekekalan yang dingin. Kekuatan dogma bernama susunan partitur, sangat dominan,"kata Aberson melanjutkan. Dia lalu merujuk pada mantan Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat Bill Clinton yang juga suka musik jazz.
Menurut penggemar ayam kampung panggang ala Batak Simalungun ini, di panggung politik Indonesia sekarang kelompok konservatif lebih mewakili kepentingan partai politiknya sendiri ketimbang konstituennya.
Mereka adalah calon-calon anggota legislatif di DPR dan DPRD. Lebih-lebih setelah parpol-parpol menghidupkan kembali hak recall-nya. Hak recall partai politik (parpol) ini menurut Aberson membuat para wakil rakyat di DPR dan DPRD semakin mundur peranannya sebagai wakil rakyat dan lebih cenderung mengabdi kepada parpol.
Dari cara para caleg memperoleh suara pun, parpol lebih punya peran besar. Beda dengan caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih langsung oleh konstituennya. Itulah sebabnya, Aberson berpendapat, anggota DPD kelak lebih punya legitimasi daripada anggota DPR atau DPRD.
"DPD kan dipilih langsung oleh konstituennya dan tanpa kendali partai. Jadi mau tidak mau, mereka yang terpilih harus melulu memperjuangkan dan melindungi kepentingan konstituennya. Beda dengan caleg parpol yang bisa dikatrol oleh parpolnya dalam perolehan suara," ujar ayah dua putra ini.
Dengan alasan itulah Aberson lalu "lompat pagar" menjadi caleg DPD. "Dengan menjadi caleg DPD Jakarta, saya merasa lebih bebas dan bertanggung jawab terhadap konstituen yang saya wakili," tuturnya.
Dalam pandangan Aberson, kelompok konservatif, yaitu para caleg di DPR dan DPRD, lebih mengutamakan kepentingan parpol, sedangkan liberalis, yaitu para Caleg DPD, lebih mementingkan kepentingan konstituen. Oleh karena itu, kelompok liberalis lebih mewakili kepentingan rakyat daripada kelompok konservatif.
Menurut dia, para wakil rakyat di DPR dan DPRD tidak lebih dari para wakil parpol. Itu sebabnya, kelompok liberalis lebih legitimate daripada kelompok konservatif di DPR.
YANG jadi persoalan sekarang menyangkut anggota DPR-DPRD dengan DPD kata Aberson adalah soal hak yang timpang. Anggota DPD yang dinilai Aberson lebih mewakili konstituen daripada anggota DPR-DPRD, justru cuma jadi penonton di Senayan. "DPR-DPRD punya hak suara, sedangkan DPD tidak. DPD cuma memiliki hak memberi pertimbangan. Padahal menurut saya, DPD seperti halnya presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, lebih legitimate daripada DPR-DPRD yang masih diwarnai oleh dominasi Parpol. Oleh karena itu, haknya harus lebih besar ketimbang DPRD-DPRD," ujar Aberson.
Oleh karena itu, lanjutnya, "Kalau saya terpilih menjadi anggota DPD, saya akan desak kawan-kawan DPD lainnya mengusulkan amandemen konstitusi menyangkut hak DPD. Ini bagaimana? Mereka yang lebih mewakili rakyat kok haknya justru lebih terbatas?"
Menurut Aberson, agar mendapat legitimasi yang sama, pemilu legislatif seharusnya dilakukan lewat sistem distrik murni. Di sisi lain, hak DPD pun harus disamakan dengan hak DPR-DPRD hasil pemilu bersistem distrik murni.
Selain itu, katanya, sebaiknya, pengambilan keputusan dilakukan di Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan di DPR seperti sekarang. "Jadi MPR menjadi wadah rapat gabungan antara DPR dan DPD. Semua undang-undang diputuskan di MPR," papar Aberson.
"Kalau terpilih menjadi anggota DPD Jakarta, apa prioritas Anda? "Jakarta harus bisa menjadi proyek percontohan sekolah dasar sembilan tahun gratis, proyek percontohan rumah susun sewa, dan proyek pengembangan sistem lingkungan yang sehat dan produktif," katanya. (Kompas, Rabu, 03 Maret 2004 ) ?e-ti
PDI Perjuangan Telah Teledor
Kontroversi mewarnai amandemen konstitusi. Tak terkecuali di tubuh PDI Perjuangan. Pro kontra menyeruak: satu kelompok mendesak jalan terus amandemen tahap keempat, kelompok lain di PDIP menolak. Yang mengemuka soal pemilihan presiden langsung, kendati itu sudah disetujui pada amandemen tahap ketiga di Sidang Tahunan MPR tahun 2001.
Baru-baru ini, Presiden Megawati memperingatkan bahwa rakyat tidak siap dengan sistem itu Sekjen DPP PDIP Soetjipto menjelaskan, pernyataan presiden itu sebagai kekhawatiran terjadinya konflik horisontal. Apa yang terjadi dengan PDIP? Kenapa berubah? Berikut wawancara Wahyu Dyatmika dengan Aberson Marle Sihaloho, anggota DPR/MPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
Aberson adalah politisi senior. Tumbuh menjadi kader Partai Nasional Indonesia, yang didirikan Soekarno pada 1920-an, Aberson melanjutkan karir poltiknya di Partai Demokrasi Indonesia, setelah PNI dilebur dengan partai politik lain di era Orde Baru. Saat rezim Orde Baru memotori DPP PDI tandingan pimpinan Soerjadi, lewat kongres di Medan, Mei 1996, Aberson setia pada Megawati. Ia sempat ditahan dan diadili akibat kerusuhan 27 Juli 1996. Kini, Aberson lebih banyak berkecimpung di parlemen.
Proses amandemen masih alot, juga memicu kontroversi. Di jajaran PDI Perjuangan juga terjadi pertentangan tajam. Apa pendapat Anda?
Program utama pemerintahan Megawati saat ini adalah mengantar bangsa ini menuju Pemilu 2004. Di sinilah kendala pemerintah. Ini terkait keputusan pemilihan langsung. Kalau pemerintah tidak menerima pemilihan langsung –seperti sudah diketok MPR dalam pasal 6A ayat 1 UUD 45— maka akan terjadi instabilitas politik serius. Beberapa kelompok juga sudah ramai bersuara untuk membatalkan saja proses amandemen.
Suara-suara di PDIP?
Sesuai keputusan kongres tahun 2000 di Semarang, PDIP menolak model pemilihan langsung. Tetapi, apa yang terjadi? Pasal ini malah gol dalam Sidang Tahunan MPR setahun silam. Pasal itu berbunyi "Presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan dipilih langsung oleh rakyat." Inilah yang mau dibatalkan itu. Jadi ribut-ribut menentang amandemen, sebenarnya bermuara ke pasal ini. Inilah yang mereka incar.
Menurut saya, PDIP sudah teledor. Kalau sikap resmi partai menolak, kenapa bisa lolos? PDIP –mau tidak mau— harus menyesuaikan dengan hasil amandemen konstitusi. Toh amandemen ini telah disetujui PDIP. Tarik menarik ini sangat mungkin menimbulkan instabilitas politik. Kredibilitas partai juga bisa jatuh.
Keputusan Kongres PDIP bisa disesuaikan begitu saja?
Seharusnya bisa. Bagaimanapun, keputusan tertinggi di tangan MPR.
Bisa dikatakan, PDIP kecolongan?
Tidak! Amandemen ketiga diputuskan MPR secara aklamasi. Saya secara pribadi setuju keputusan itu, maka saya diam saja, meski bertentangan dengan keputusan partai. Kalau sekarang ada upaya membatalkan, maka semakin besar potensi instabilitas itu.
Anda punya prediksi terburuk?
Saya memperkirakan dalam Sidang Tahunan MPR, Agustus mendatang, akan ada eskalasi instabilitas politik nasional.
Bagaimana bisa terjadi Fraksi PDIP tidak mengamankan hasil kongres?
Sebenarnya, mayoritas anggota PDIP di MPR setuju pemilihan langsung meski secara formal PDIP menolak. Kenapa bagitu? Karena keputusan kongres bisa direkayasa. Tapi kalau keputusan individu sesuai hati nurani, susah direkayasa.
Apa kebijakan PDIP untuk mengatasi kesenjangan itu?
Ah…itu urusan DPP PDIP sajalah. Urusan para pemimpin itulah. Saya tak mau ikut. Tapi, memang terjadi kesenjangan. Penyebabnya, proses pengambilan keputusan di kongres, tidak demokratis. Seingat saya, saat itu ada 174 cabang yang menginginkan pemilihan presiden langsung. Bahkan sekarang juga. Kalau mau referendum –meski menurut saya tidak perlu— coba rakyat ditanya: mau pemilihan langsung atau tidak? Saya jamin mayoritas rakyat menghendaki pemilihan langsung.
Mungkinkah mengubah hasil amandemen untuk pasal pemilihan ptresiden itu, misal lewat gerakan politik ekstra-parlementer?
Ini kan sudah ketok palu! Pasal 6A ayat 1 kan sudah diputuskan. Kalau hasil amandemen dipermasalahkan lagi, aneh kan? Padahal kemarin, tidak ada satu fraksi pun yang menentang. Karena memang, semua anggota MPR setuju pemilihan langsung.
Amandemen MPR sudah sesuai aspirasi rakyat! Yang jadi masalah kan karena ini mau dibatalkan lagi! Dituduh kebablasanlah, apalah! Beri tahu rakyat: kebabalasannya dimana? Suara rakyat yang diwakili lembaga, sekarang dikembalikan lagi pada rakyat, bisa disebut kebablasan?
Mengapa sejumlah suara di PDIP menolak?
Sederhana. Mereka takut tidak terpilih! Itu saja. Karena kalau pemilihan langsung, ini sudah masalah orang per orang, bukan lagi masalah partai. Jangan salah! Ndhak bisa lagi main rekayasa.
Amandemen ketiga juga sudah mengatur pemilu 2004 tidak lagi memilih tanda gambar parpol, melainkan nama calon anggota parlemen?
Inilah yang mau dibuyarkan! Pemilu 2004, masyarakat memang akan menusuk tanda nama orang yang tertera pada tanda gambar partai. Ini ndhak bisa direkayasa. Jadi kalau partai tidak mengajukan nama-nama calon wakil rakyat yang kredibel dan laku dijual, pasti akan kalah.
Pendapat Anda soal hak pilih untuk tentara dan polisi?
Kita sudah lama terjebak dalam paradigma keliru. Saya tegaskan, tidak ada tentara dan polisi yang bukan warga negara! Tidak ada hubungan antara dia sebagai tentara, atau apapun profesinya, dengan hak dia sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih. Kalau pun dia dipilih, dia harus berhenti jadi tentara.
Ada ketakutan TNI akan balik ke panggung politik?
Justru d isitulah yang keliru! Tentara itu kan institusi, apa urusannya? Ini hak warga negara kok! Bukan hak institusi.
Kalau itu dipakai elit militer sebagai pintu masuk menguasai politik?
Bagaimana bisa jadi pintu masuk, wong kalau jadi calon legislatif, dia harus berhenti! Malah saya mengusulkan –sebagai bukti dia benar-benar seorang warga negara yang setia pada negaranya— setiap calon harus membayar pajak dulu.
Anda tidak takut jajaran TNI dan Polri terpecah-pecah dalam garis ideologi akibat perbedaan aspirasi politik?
Saya tidak pernah takut! Hanya orang yang nggak ngerti persoalan saja yang merasa takut! Wong bukan tentaranya kok yang ikut memilih! Sama dengan pegawai negeri sipil.
Kembali ke soal pemilihan presiden langsung. Ada kekhawatiran terjadi konflik horizonta. Pendapat Anda?
Konflik tidak akan terjadi. Itu kan terjadi ketika dulu para tentara dan polisi masih diberi jatah-jatah wilayah. Tapi sekarang, yang berdaulat itu rakyat!
Perubahan apa yang Anda bayangkan setelah Pemilu langsung?
Seperti Mbak Mega, misal dipilih 35,7 juta rakyat. Dia sudah jadi superwoman. Juga, anggota DPR dipilih langsung oleh 300-400 ribu orang. Kita pun bukan orang sembarangan. Itu sebabnya anggota parlemen dihormati, disebut honourable member of parliament.
Menurut Anda, siapa saja yang menentang amandemen?
Antara lain PPP. Pokoknya semua yang membawa-bawa nama rakyat, yang selama ini menikmati sistem, akan menentang amandemen. *** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari Tempo Interaktif)
Sumber : tokoh-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar